Mohon tunggu...
deny rahmadaditya
deny rahmadaditya Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

-

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sosial dan Media yang Direnggut Keberadaannya

13 Desember 2022   16:59 Diperbarui: 13 Desember 2022   17:10 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dunia makin maju, perkembangan teknologi dan informasi pun mengikutinya, siapa yang tidak mengenal medsos atau media sosial, tempat seseorang yang mencari hampir dari segalanya untuk kebutuhan aspek atau kelengkapan kehidupan seseorang. Banyak dari orang-orang menjadikan tempat media sosial bukan hanya tempat bertemunya manusia satu kepada manusia lainnya hanya untuk melakukan komunikasi, namun juga media sosial ini sudah seperti bisa dijadikan tempat yang sangat ideal untuk sesuatu hal yang bisa dilaukan dengan serius seperti menghasilkan pundi rupiah, tempat informasi yang up-to-date dan lainnya karena jangkauannya yang luas tidak terbatas oleh waktu dan tempat, setiap orang dapat mencurahkan ataupun mengetahuinya dari sebuah media sosial.

Tempat tempat yang dahulu hanya untuk dijadikan tempat ajang pamer bagi orang-orang setempat, namun sekarang tempat tersebut bisa dijadikan untuk sumber atau bahkan mempelajari hal-hal baru, layaknya sebuah robot fungsi yang terus dikembangkan di media sosial menjadikan para konsumer menempatkan media sosial sebagai tempat di hati terbaik mereka, ada yang menggunakannya untuk berjualan mereka pilih Instagram atau pun tiktok, ada yang untuk informasi seperti twiter ataupun hanya sekedar untuk melakukan hubungan jarak jauh seperti WhatsApp atau pun media lainnya.

Kendati bertukar informasi alih-alih dijadikan sebagai tempat yang memang sudah sebagai rumah kedua mereka, hal itu sudah tidak bisa dihindari dikarenakan dahulu ada sebuah pandemic covid 19 yang mengharuskan para pelaku sosial harus menghadapi gab yang berhubungan dengan teknologi, yang padahal mereka lebih suka untuk melakukan sesuatu yang real atau bertemu, karena merasa tidak adanya hawa keberadaan yang hanya bisa dilakukan dengan sebuah alat teknologi.

Dengan kenyataan inilah para pelaku sosial yang berada pada kondisi gagap teknologi harus dipaksa untuk berdamai dan beresonansi dengan keadaan teknologi yang telah berkembang, seperti rapat online atau pun semua kegiatannya berbasis online. Hal ini tentu saja ada yang diuntungkan dan dirugikan. 

Orang-orang yang memang mempunyai teknologi ataupun informasi lainnya sangat diuntungkan dengan keadaan ini dikarenakan dengan alasan waktu dan biaya yang bisa dihemat hanya dengan kuota internet, namun pada sebagian orang yang memiliki gap di dunia teknologi tentu saja pasti mengalami kesulitan, bukan hanya orang yang mempunyai gab namun orang yang jauh dari kata teknologi ini pun pasti akan merasakan ketidakadilan, orang yang berada di lingkungan informasi dan teknologi yang trus di update akan selalu berada di posisi yang lebih diuntungkan sedangkan orang yang tidak berada di situasi dan kondisi itu akan sangat dirugikan. 

Teori biaya transaksi disini pun berlaku, karena dengan adanya design kelembagaan yang buruk untuk kasus ini, orang --orang akan mengalami kondisi informasi yang asimetris atau tidak seimbang, untuk itulah orang --orang yang berada di situasi dan kondisi tertentu akan membayar lebih mahal untuk biaya informasi yang mereka terima nantinya.

Dari beberapa perbandingan wilayah setempat yang sudah mendapatkan biaya transaksi yang sama untuk informasi tidak menuntut pula mendapatkan sesuatu yang sama pula, seperti halnya modal sosial yang mereka dapatkan lewat media sosial. Ada kasus unik baru-baru ini yaitu tentang RUU KUHP di sebuah negara yang sudah di sahkan menjadi undang-undang, tau dari mana? Tentu banyak yang menjawab pastinya dari media informasi, padahal jika diketahui di suatu situasi dan kondisi tertentu kita sudah memiliki biaya untuk menghasilkan informasi yang sama, namun karena perbedaan modal sosial yang berbeda, kita tidak diberikan kesempatan bagaimana proses pengesahannya dan hanya diberikan informasi tentang pengesahannya saja, yang bahkan dari anggota pemerintah yang bertanggung jawab hanya sekitar 18 fisik yang menjadi saksi atas RUU dan untuk UU.

Tahap seperti modal sosial yang kita dapatkan setelah membayar biaya informasi yang sama tidak selalu sebanding, modal sosial yang diciptakan sekarang pun menciptakan aturan yang sangat --sangat menguntungkan sesuatu yang dianggapnya modal sosial, orang yang tidak memiliki modal sosial bagi sebagian orang akan sangat-sangat tidak diuntungkan dalam hal ini, seperti Undang-Undang yang mengatur mengkritik atau pun hinaan terhadap penguasa setempat. Seolah kita memiliki hak kepemilikan atas ketikan jari atau pun ucapan yang bisa kita lontarkan dengan sebebasnya namun hal itu bisa menjerumuskan kita kedalam jeruji besi yang jeruji tersebut tidak murah harganya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun