Wacana JKN tidak menanggung biaya perawatan penyakit berhubungan rokok telah bergulir sejak dikeluarkannya Perpres No. 12/2013 tentang Jaminan Kesehatan. Meskipun Perpres tersebut mengalami perubahan dan menjadi Perpres No. 111/2013, gangguan kesehatan akibat sengaja menyakiti diri sendiri, atau akibat melakukan hobi yang membahayakan diri sendiri tetap tidak dijamin pelayanan kesehatannya. Hal ini tertuang dalam pasal 25 (1) butir j Perpres No. 111/2013.
Awal Maret 2014, Deputi Bidang Koordinasi Kesehatan, Kependudukan dan Keluarga Berencana Kemenko Kesra, Dr. Emil Agustiono menerangkan bahwa saat itu peraturan perundangan terkait penyakit akibat rokok sedang disusun pemerintah, buku panduan akan dibuat oleh IDI dan Kementerian Kesehatan.
Menurutnya, secara teknis pelaksanaannya, nantinya buku akan memandu dokter untuk memilah pasien apakah perokok atau bukan, ada perokok di sekitar atau tidak dan mengidentifikasi penyakit-penyakit terkait rokok termasuk memeriksa ada tidaknya gejala terpapar rokok.
Sedangkan, bila peraturan tersebut telah rampung, maka pelayanan kesehatan perokok tidak akan dibiayai oleh APBN maupun BPJS Kesehatan, melainkan harus menggunakan asuransi komersil.
Pro, Kontra Tidak Dijaminnya Perawatan Kesehatan Perokok dalam Program JKN
Pembuktian Kebiasaan Konsumsi Rokok tidak Hanya Merugikan Negara dari segi kesehatan, namun juga dari Segi Finansial
Kenyataannya, kebiasaan merokok memang berhubungan erat dengan lebih dari 20 penyakit yang mematikan dan bisa dicegah (WHO, 2015).
Tapi "racun" dalam asap rokok bukan penyebab tunggal suatu penyakit, biasanya ada penyebab lain yang turut menyebabkan (memperberat atau memicu) penyakit tersebut. Â Misal stroke, selain merokok, konsumsi makanan berlemak, kurang berolahraga, merupakan penyebabnya. Â Bagaimana menapis penyakit tersebut dibiayai atau tidak oleh JKN? Perokok bisa saja menjawab bukan perokok saat dokter menanyakannya. Pada kasus penyakit tertentu, tidak mudah untuk mengetahui apakah pasien perokok atau bukan.
Mayoritas perokok adalah kalangan rakyat miskin (berdasarkan Riskesdas 2013, sekitar 60% dari total perokok). Pasien dari kalangan rakyat miskin tidak akan mampu membayar premi asuransi swasta. Siapa yang akan membayarnya? Bila industri rokok yang diminta membayar, maka harus ada regulasi yang tegas dan berani mengidentifikasi dan menyebutkan diagnosa penyakit yang berkaitan dengan kebiasaan merokok meskipun ada etiologi/penyebab penyakit yang lain.
Pemerintah harus menyiapkan argumentasi kuat dan mengidentifikasi secara komprehensif perilaku yang dikategorikan sengaja menyakiti diri sendiri dan hobi yang membahayakan diri sendiri. Â Misalnya apakah penyakit yang berhubungan dengan kebiasaan malas mencuci tangan, kebiasaan makan makanan berlemak, makan dan minuman berkadar gula/kalori tinggi, minum alkohol juga tidak dibiayai oleh program JKN?
Atau bagaimana bila ada pecinta alam backpacker yang juga peserta JKN yang masuk IGD, harus segera masuk ruang operasi dan rawat inap karena perdarahan dan patah tulang akibat hobinya mendaki gunung, berarti biayanya tidak dibayar JKN? Bagaimana bila ia tidak memiliki uang yang cukup untuk membayarnya, apakah ia tidak akan dirawat?  Â
Efek Jera Perokok atau Pencegahan Peningkatan Beban Negara atas Perawatan Penyakit yang Berhubungan dengan Rokok
Apakah tujuan Pasal 25 (1) butir j Perpres 111/2013? Apakah Efek jera perokok atau/dan pencegahan membengkaknya beban terhadap APBN atas perawatan penyakit yang berhubungan dengan rokok?
Bila tujuannya adalah memberi efek jera bagi perokok, maka seharusnya perokok pasif yang merupakan korban dan kerabat perokok aktif tidak dibiayai JKN juga, agar perokok aktif terbebani tanggung jawab.