"Aduh,.. ampun,..ampun, Pa!" Rido terus dihantam dengan rotan. Dari betis ke pantat dan naik ke punggung. Garis-garis merah pasti sudah terhias tak beraturan di badannya.
"Sudah...sudah, Pa. Anakmu kesakitan. Dia sudah kapok." Teriak Ibu Rima.
"Awas kalau pulang malam lagi." Pak Doni menaruh rotan di atas bangku panjang dekat meja makan. Dia melangkah ke kamar.
Rido masih duduk di lantai, mengusap air mata, menahan sakit. Arah pandangnya mengikuti langkah Pak Doni saat menuju pintu keluar rumah. Sudah kesekian kalinya Rido pulang jam tujuh malam. Senang nonton atraksi tarian silat di lapangan utama kampung setiap sore, lupa pulang, lupa makan. Sialnya Rido sore itu, Pak Doni sudah pulang lebih dulu, mabuk.
Walau Pak Doni adalah salah satu preman kampung, tapi dia bukanlah tipe bapak yang suka memukul anaknya. Malahan Ibu Rima yang sering. Hanya saja dampak dari marah seorang bapak, apalagi bapaknya Rido, adalah emosi yang meledak tak terkendali. Sekali terjun, apapun yang ditimpanya pasti hancur.
Rido tak takut pada bapaknya. Dia hanya terlalu kecil untuk melawan. Dia sangat menyayangi ibunya. Bapaknya jarang berada di rumah. Tak suka banyak bicara. Sangat jarang tersenyum. Ibunya jarang keluar rumah, kecuali untuk hal-hal penting keluarga, juga jarang bicara tapi murah senyum.
"Sini mama obati memar-memar itu."
"Pelan..pelan..ya, Ma."
"He'em.."
"Rido masih bisa nonton lagi besok?" tanyanya dengan hati-hati.
"Heeem,..iya. Tapi jangan diulang yang tadi. Mama sudah sering bilang 'kan?"