Mohon tunggu...
rahib tampati
rahib tampati Mohon Tunggu... -

Rahib yang hidup di biara Tuhan

Selanjutnya

Tutup

Catatan

“Politik” Toleransi dan Bersikap Adil

23 Juli 2012   02:09 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:43 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kehidupan beragama di Indonesia sebenarnya reatif baik – baik saja. Persoalan muncul biasanya terkait dengan politik, ekonomi, pendirian rumah ibadah atau produk – produk agama yang ingin di jalankan dan terapkan secara formal oleh salah satu pemeluk agama.

Latarbelakang inilah munculnya persoalan dan perdebatan yang panjang, baik di dalam agama itu sendiri mau pun diluar mereka yang “takut” akan terjadi sebuah “agamasisasi” terhadap kehidupan bernegara dan berkebangsaan.

Pola pikir seperti ini mungkin saja tidak salah, tapi juga tidak selalu benar. Keberagaman dan multikultural di Indonesia di maknai “terancam” oleh hal - hal tersebut. Walau pun sebenarnya pemahaman mengenai penolakan terhadap di atas juga bisa di maknai sebagai “penolakan” terhadap ide – ide multikultural tersebut. Bukankah setiap pemeluk agama menghendaki nilai – nilai agama yang mereka yakini menjadi landasan hukum, moral dan etika mereka sebagai panduan dan pedoman hidup!

Dimana letak salahnya? Ketidakpahaman? Ketakutan? Kecemasan? Prasangka – prasangka? Atau termakan isu politisasi agama dan kepentingan strategis lainnya. Di tambah “konser” media yang membuat semuanya gaduh, persoalan inti yang di alami umat beragama tidak tersentuh dan dipahami secara baik.

Di sinilah peran forum kerukunan umat beragama perlu di optimalkan. Dialog dan diskusi untuk menghilangkan kecemasan, kekuatiran yang muncul. Dan juga untuk menjembatani hubungan antarumat beragama yang mudah “terluka” karena egoisme dan radikalime yang muncul di setiap golongan - golongan agama tersebut.

Komunikasi yang berkelanjutan dan intens dapat mencairkan rasa “ketakutan” yang ada. Benih – benih hubungan yang saling menghormati dan memahami pun terwujud dalam setiap warga masyarakat. Ketidakpahaman dan ketakutan akan diganti dengan prasangka baik dan positif dan tidak di artikan sebagai ancaman terhadap keyakinannya. Cara – cara ini dapat menghilangkan prasangka – prasangka buruk dan negatif terhadap sangkaaan kampanye“agamasisasi” yang ada.

Dalam setiap agama dan aliran, kita pasti akan menemukan kelompok yang menganut radikalisme dalam penyebaran agama dan pahamnya. Dan di dalam setiap agama, kelompok ini ada walau pun jumlahnya sedikit. Kelompok – kelompok inilah yang lebih sering menyebabkan keretakan hubungan sesama agama dengan cara “mengendarai” agama sebagai tujuan – tujuan praktis dan strategis mereka.

Merekalah lebih sering untuk memaksakan agendanya, pandangan dan pikiran mereka untuk diterima sebagai sebuah pandangan yang benar, jika tidak maka semua isu akan di mainkan sampai isu tidak toleran dan menghalangi beribadah di jadikan “jualan” untuk meresahkan dan mengancam kerukunan umat beragama.

Keimanan tidak dapat dipaksakan, penolakan bukan berarti tidak toleran. Bersikap adil dan seimbang dengan azas proposionalitas dalam beragama wajib dilakukan dan dipraktekan oleh siapa pun. Tiap umat beragama lebih baik meletakkan sikap saling menghormati keyakinan masing – masing dari pada memaksakan agendanya. Kunci mengapai kerukunan umat beragama di lewati dengan jalan yang rumit dan ujian yang berkepanjangan.

Tidak mudah memang untuk bersikap adil kepada pemeluk agama lain kalau kita belum memahami agama mereka dan juga tidak berkomunikasi dengan hangat. Kunci kemajuan peradaban adalah menemukan titik temu antar perbedaan yang muncul dan fokus mencari persamaan dan menjadikannya potensi untuk membangun bangsa dalam kebhinekaan.

Sudah saatnya di setiap pemuka agama dan pemeluknya bersikap aktif dan positif terhadap tantangan bangsa kedepan yang di hadapi oleh umat – umatnya, yaitu kemiskinan, kejahatan moral dan sosial, kebodohan dan pembodohan di negara ini. Dari pada sibuk dengan agendanya dan mengejar dalam menaikan jumlah pemeluknya, alangkah baiknya jika semuanya bergandeng tangan dalam mengapai kesejahteraan dan kemajuan.

Keberagamaan adalah keniscayaan dan itu merupakah harta kekayaan Indonesia, kita memiliki enam agama resmi dan ratusan suku bangsa dan bahasa. Jika ini tidak di kelola dengan baik dan menjadi perhatian yang serius oleh pemerintah dan para pemuka agama. Maka harta kekayaan ini akan menjadi malapetaka yang besar bagi keutuhan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sudah waktunya bagi semua pemuka agama dan pemeluknya untuk bergandeng tangan dan menolak marginalisasi umat yang dilakukan oleh kelompok – kelompok elit yang berkuasa. Memarginalkan peran pemuka agama dan mengeksploitasi umatnya untuk kepentingan politik semata. Saatnya para pemuka agama dan pemeluknya paham akan cara – cara politik seperti ini, lalu bangkit dari duduknya dan berkata “Hentikan Politisasi agama!


-----------------------------------------

Rahib Tampati

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Artikel Terkait :

Kerukunan Beragama Di Indonesia Bukan Sekedar Mitos

Apakah Keterbukaan Mampu Mendorong Toleransi? Atau Malah Melahirkan Ancaman!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun