Mohon tunggu...
rahib tampati
rahib tampati Mohon Tunggu... -

Rahib yang hidup di biara Tuhan

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Aksi Teror Aksi Intelijen?

1 November 2012   09:00 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:07 497
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terorisme telah menjadi “selebritas” di media – media cetak belakangan ini. Aksi demi aksi para pelaku teror menjadi “hantu” yang menakutkan tapi anehnya di tunggu tayangnya. Kampanye anti teror pun makin “berisik” dan gaduh, seolah – olah terorisme di Indonesia monster berbahaya lebih berbahaya dari kejahatan – kejahatan lainnya, misalnya korupsi.

Mengutip pernyataan Laksamana TNI, Purnawirawan, Mulyo Wibisono (itoday,06/09/12) saat di mintai keterangan mengenai penangkapan teroris di Solo yang menewaskan Farhan dan Muksin “ ... keberadaan teroris di Indonesia sengaja di pelihara institusi tertentu untuk mendapatkan proyek dari Amerika Serikat”.

Tambahnya lagi bahwa “ ... Dalam intelijen ini penyusupan itu hal yang biasa. Sebetulnya aparat sudah tahu, tetapi dibiarkan saja. Dan pelaku teroris ini akibat provokasi intelijen.” Dengan kata lain bahwa, kemunculan teroris baik dari aksi mereka dan pengerebekan pelaku teror telah di rancang sedemikian rupa untuk memberi sebuah gambaran/image mengenai aksi terorisme dengan tujuan – tujuan tertentu untuk sebuah kepentingan.

Di sini Mulyo juga menjelaskan bahwa para teroris tersebut di latih di Gunung Merbabu. Polisi harus mengungkap siapa yang melatih para teroris itu, atau jangan-jangan intelijen sendiri. Menggunakan senjata terlebih lagi umur mereka masih muda itu sangat aneh sekali dan mampu membunuh polisi."

Kecurigaan bahwa aksi teror ini telah di rancang oleh intelijen di jelaskan oleh Mulyo bahwa korban polisi yang tertembak di Solo tidak di otopsi dan adanya pertemuan tertutup sebelum terjadi teror di markas Kopassus Kartosuro antara Direktur Penindakan BNPT, Brigjen (Pol) Petrus R Golose dengan jajaran Dandim, Komandan Kopassus Grup 2, Kapolres se-Solo Raya dan dan perwakilan dari Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror.

Jika apa yang dikatakan oleh Mulyo benar maka kecurigaan – kecurigaan bahwa aksi teror telah sengaja di biarkan terjadi atau di rancang oleh sekelompok elit atau intelijen tertentu ada benarnya. Dengan adanya aksi terorisme tentu saja ada fihak – fihak yang di untungkan dengan adanya program bantuan asing terhadap pemberantasan terorisme di Indonesia. "Memunculkan 'teror' itu biasa dalam operasi intelijen agar orang-orang yang diduga 'teroris' itu muncul. Dan dengan munculnya 'teroris' akan memberikan keuntungan bagi polisi dan BNPT," tambah Mulyo.

Reality Show Pengerebekan Teroris

Jika di perhatikan selalu pengerebekan para teroris dilakukan secara “LIVE”, layaknya sebuah reality show seperti acara – acara opera sabun atau kuis – kuis. Masyarakat di “hibur” dengan aksi tembak – tembakan dan gaya para Densus dalam mengintai, mengepung dan menembak mati para pelaku teroris.

Masih ingat bagaimana TV One mendapatkan hak siar istimewa dalam pengerebekan di Temanggung? Tempat persembunyian Noordin M Top? Untuk kepentingan apa sehingga 200 juta rakyat Indonesia harus perlu melihat “action” ini? Apakah anti teror memang sudah bukan rahasia lagi? Lalu apa kepentingan media (TV One) dalam hal ini? Rating kah? Dan anehnya ini hanya terjadi di Indonesia pengelola sebuah stasiun televisi dapat hak siar secara “LIVE” pengerebekan para teroris.

Siapa Karni Ilyas?

Jejak rekam Karni Ilyas di mulai sebagai jurnalis dan juga anggota Kompolnas. Sebelum di TV One ia memulai karis sebagai wartawan Suara Karya (1972) lalu di Tempo (1978) kemudian di Forum (1991 – 1999) lalu hijrah ke SCTV memimpin liputan 6 dan terakhir di TV one.

Karni dikenal juga dekat dengan Gories Mere semenjak ia lulus Akpol dengan pangkat Letda. Dalam sebuah #KulTweets Mas Ridla mengenai sosok Pimred TV One ini “Karni Ilyas wartawan senior TV One” (lihat di [http://nurudin.jauhari.net/karni-ilyas-wartawan-senior-tvone.jsp]

Di sini dijelaskan bahwa buah persahabatan itu terjadi takkala 5 November 2002 dimana satuan polisi (di pimpin Gories) melakukan sebuah operasi rahasia di Tenggulun, Solokuro dan berhasil menciduk Amrozi, ia mengajak wartawan SCTV ( dibawah Karni Ilyas saat itu), sehingga membuat salah paham kepada Dinas Penerangan Polda Jatim yang rupanya tidak diberitahu soal operasi ini, hebatnya Polda Jatim tidak tahu tetapi Karni bisa tahu, sebuah pertanyaan yang besar dalam hal ini.

Penangkapan Imam Samudra di Merak SCTV berada di depan, saat Abu Dujana (2007) Karni dan ANTV mendapat hak siar ekslusif pengakuan Dujana yang di rekam di kala semua media tidak memiliki akses. Mengapa hanya dua stasiun ini yang mendapatkan hak merekam langsung? Apakah pengakuan Dujana telah di rencanakan sebelumnya?

Perhatikan jika ada acara diskusi terorisme di TVOne , sumber – sumber yang didatangkan selalu monoton, jika tidak kepala BNPT Ansyad Mbai atau mantan kepala Bin Hendro Priyono. Perhatikan juga sumber – sumber sekunder lainnya, biasanya selalu mengikuti opini yang hendak di bangun oleh sebelumnya (institusi pemerintah).

Jika ada sebuah pertanyaan besar maka apa sebenarnya motivasi antara Gories, Karni, BNPT dan Hendro yang di dukung oleh TVOne? Jika hanya sekedar memberi “hiburan” betapa bahayanya Terorisme bagi 200 juta masyarakat Indonesia dan menjadikannya ratting, sebuah motivasi yang naif dan tidak masuk akal.

Mengapa Ngruki, Mengapa Pesantren, Mengapa JAT? Mengapa Hasmi?

Jika di perhatikan sumber – sumber diskusi mengenai terorisme selalu ingin membentuk opini bahwadi pesanter Ngruki menyimpan potensi pelaku “teroris”. Seolah – olah ribuan santri di Ngruki berpeluang menjadi pelaku terorisme di kemudian hari. Mengapa media memberikan label ini “teroris” kepada Ngruki tapi tidak memberikan label yang sama terhadap yang lainnya. Contohnya pulau Key (Maluku) tidak di sebut sebagai pulau benihnya para Preman atau sarang Preman?

Hasmi adalah sebuah organisasi da’wah Islam singkatan dari “Harakah Sunniyah Untuk Masyarakat Islami” bukan “Harokah Sunniyah Untuk Masyarakat Indonesia” sebagaimana di ungkapkan olehKadiv Humas Mabes Polri, Irjen Suhardi Aliyus (27/10/2012)

Kesalahan yang dibuat oleh Kadiv ini tentu membawa pertanyaan di tengah masyarakat, apalagi masyarakat dan media cenderung mengeneralisasi sesuatu hal tanpa pengetahuan yang memadai. Fallacies (sesat pikir) terbentuk di tengah masyarakat di tambah efek argumentum ad populum yang digunakan oleh media massa yang menghasut secara jelas.

Kasus Hasmi mirip yang terjadi dengan kasus JAT. Masih ingat bagaimana polisi dengan mudahnya mengatakan bahwa pembunuhan dua polisi di Poso di lakukan oleh JAT, padahal belum ditemukan satu pun bukti yang dapat dipertanggung jawabkan yang mengarah kepada organisasi ini.

Tren media massa yang melakukan argumentum ad populum dan dengan menuding secara tendesius memiliki tujuan – tujuan tertentu dan ini mengarah kepada lembaga Islam tertentu. Media massa menggunakan caranya untuk membentuk opini sesat dan menyesatkan dengan menyatakan secara tidak langsung bahwa organisasi Islam tertentu ikut “bermain” dan mengetahui dalam aksi teror.

Hasutan yang dilakukan oleh beberapa media massa mengenai aksi teror telah mencoreng media massa tersebut dengan semboyan yang mereka agungkan. Mungkin ada benarnya yang mangatakan bahwa media massa tega membunuh “ibunya” untuk sekedar mendapatkan rating atau keuntungan lainnya.

Tambah Mulyo lagi bahwa "Menuduh teroris itu tidak sederhana apa yang dilakukan Densus, inikan cuma rekayasa untuk membuat citra buruk terhadap Islam." Apakah Media massa memang memiliki kepentingan memberi citra buruk terhadap Islam? Dengan tujuan – tujuan politis tertentu?

Siapa yang merancang wacana, membentuk opini dan menancapkan stigma?

Saya masih ingat ketika Presiden Amerika George J. Bush selalu mengulang – ulang mengatakan di forum – forum internasional bahwa poros setan adalah Iran dan Korea Utara. Amerika yang begitu berhasrat untuk menguasai minyak Iran sekarang berusaha menekan negara ini karena program nuklirnya. Hasutan demi hasutan kini kembali dilakukan oleh pemerintah Amerika di bawah Obama.

Tujuannya adalah merancang wacana, membentuk opini dan menancapkan stigma bahwa negara mullah ini tidak di perkenankan memiliki senjata nuklir. Pertanyaan mendasarnya, siapa yang mengatakan si A boleh dan si B tidak? Mengapa si A boleh dan si B tidak. Sejarah mencatat jelas Amerika pernah mengunakannya di Hirosima dan Nagasaki, lalu mengapa bukan Amerika yang melucuti nuklirnya dan mengapa mereka masih menyimpan senjata nuklir tersebut. Standar ganda khas negara imprealis yang ingin menekan negara lain dengan kekuatan militernya.

Kembali kepada kasus teroris di Indonesia, sampai detik ini belum satu pun jaringan dan tokoh atas tertangkap, kecuali hanya kroco – kroconya yang tertembak mati. Abu Bakar Baasir yang dituduh sebagai petinggi jaringan teroris pun hanya terjerat oleh pengakuan sepihak para pelaku yang tertangkap, beberapa tahun lalu ia di penjara karena masalah imigrasi, pihak kepolisian tak habis cara untuk memenjarakan sosokini. Bahkan di pengadilan Abu Bakar Baasir tidak terbukti terlibat dalam satu pun dalam aksi teroris.

Jika apa yang di katakan oleh Mulyo benar, maka sungguh berbahaya jika para aksi teror ini sebenarnya di rancang dan diketahui untuk kepentingan – kepentingan tertentu. Saya masih ingat bagaimana dulu ada isu mengenai KJ, yaitu Komando Jihad di pertengahan tahun 70’an. Pada saat itu isu mengenai pengambilan kekuasaan di hembuskan oleh sekelompok orang yang membawa agenda tentang ketidakpuasaan terhadap pemerintaan saat itu (Suharto).

Isu ini sengaja di tiupkan dengan tujuan untuk memancing orang – orang atau kelompok tertentu yang memiliki tujuan – tujuan tertentu untuk ikut serta dalam gerakan ini. tapi ternyata dikemudian hari di ketahui bahwa yang meniupkan isu dan merancang komando jihad adalah strategi intelijen untuk menangkap para aktifis – aktifis Islam yang ada. Mungkin benar jika Laksamana TNI, Purnawirawan, Mulyo Wibisono mengatakan bahwa “Aksi teror itu hanya bisa dilakukan oleh satuan inteligen” kata mantan komandan Satgas Intel BadanIntelijen Strategis (Bais). (hidayatullah.com 29/10/2012)

Lalu siapakah mereka sebenarnya, apakah mereka sebenarnya hanyalah pengacau keamanan seperti yang dilakukan oleh RMS atau Papua Merdeka? Mengapa kedua organisasi ini tidak di labeli teroris? mengapa mereka di sebut separatis? Jika program penanggulangan teroris mendapat dana besar dari Amerika maka apakah penanggulangan separatis juga mendapatkan dana dari Amerika? Sungguh celaka dua belas jika mereka hanya menjadi korban program untuk mendapatkan dana demi kepentingan – kepentingan tertentu.

-----------------------------------------

Rahib Tampati

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun