Mohon tunggu...
Rahel Angelina Purba
Rahel Angelina Purba Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Anak muda yang beretika dan loyal

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Penerapan Diversi Pada Anak sebagai Pelaku Tindak Kekerasan Seksual

13 Juni 2024   18:58 Diperbarui: 13 Juni 2024   22:11 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar : https://p3akb.lomboktimurkab.go.id/baca-berita-153-perlindungan-hukum-terhadap-anak-korban-kejahatan-perkosaan-dalam-pemberitaan-media


Perkembangan zaman yang ditandai dengan teknologi informasi yang semakin berkembang, tidak hanya memberikan dampak positif bagi kehidupan menusia, salah satu dampak negatifnya adalah maraknya kasus kekerasan seksual. Kenyataannya, kasus kekerasan seksual sudah banyak melibatkan anak sebagai pelakunya. Faktanya kasus kekerasan seksual yang melibatkan anak sebagai pelaku mengalami kenaikan setiap tahunnya. Di Indonesia anak memiliki peran yang sejalan dengan konstitusi di Indonesia yang berlandaskan Pasal 28B UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yakni "Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi".  Selain itu, pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, menyebutkan hak anak secara umum yakni: (1) hak hidup; (2) hak tumbuh-kembang; (3) hak perlindungan; dan (4) hak partisipasi. Hadirnya peraturan tersebut bertujuan untuk menjamin secara konkret hak-hak yang dimiliki anak untuk hidup sejahtera serta berkembang sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya dan harus dilindungi. 

Namun, adanya peraturan tersebut bisa menjadi kontroversi, karena nyatanya anak yang seharusnya mendapat perlindungan hukum justru saat ini banyak tindak pidana kekerasan seksual bahkan melibatkan anak sebagai pelakunya. Hal ini menjadi sebuah polemik atas pemidanaan dari seorang anak, karena pemerintah seharusnya menjunjung tinggi hak anak dengan mempertimbangkan faktor anak melakukan tindakan tersebut. Maka dengan ini, diperlukan sebuah cara alternatif untuk penyelesaian dari perkara tersebut selain penggunaan peradilan pidana kepada anak. Berkaitan dengan tujuan dari penyelenggaraan sistem peradilan pidana anak, maka perkara anak wajib diselesaikan melalui jalur di luar pengadilan sehingga diupayakan pula suatu penyelesaian melalui jalur non formal. Salah satu upaya penyelesaian melalui jalur non formal ini yaitu dengan menerapkan prinsip restorative justice. Restorative justice sering disebut juga sebagai keadilan restorasi, yang merupakan suatu model pendekatan dalam upaya penyelesaian dari suatu perkara pidana yang melibatkan adanya pertemuan langsung dari pelaku dan korban dalam proses penyelesaian perkara pidana.

Sumber Gambar : https://jatim.kemenkumham.go.id/berita-upt/21901-2-abh-kasus-laka-berhasil-mendapatkan-restorative-justice-melalui-proses-diversi
Sumber Gambar : https://jatim.kemenkumham.go.id/berita-upt/21901-2-abh-kasus-laka-berhasil-mendapatkan-restorative-justice-melalui-proses-diversi

Hadirnya Restorative justice ini menjadi salah satu cara alternatif dari penyelesaian perkara tindak pidana dengan menghadirkan diversi yang dilakukan saat tingkat penyidikan sampai pemeriksaan di pengadilan, yang mana dalam mekanisme tata cara peradilan pidana berfokus pada pemidanaan yang diubah menjadi proses percakapan seperti mediasi yang melibatkan antar pihak pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang berkaitan untuk bersama-sama memperoleh kesepakatan atau penyelesaian perkara pidana yang adil dan seimbang bagi pihak korban maupun pelaku dengan mengedepankan pemulihan kembali pada keadaan semula, serta mengembalikan pola hubungan baik antar masyarakat, dan bukan pembalasan. Pembahasan mengenai musyawarah dalam pelaksanaan diversi ini melibatkan pihak yang melibatkan anak dan orang tua/wali, korban dan/atau orang tua walinya, pembimbing. 

Adapun tujuan dari penerapan diversi, antara lain adalah: 

1. Mencapai kedamaian dalam ruang anak di luar proses peradilan; 

2. Mengatasi setiap perkara anak di luar dari proses peradilan; 

3. Menjauhkan anak dari perampasan kemerdekaan yang dimiliki setiap anak; 

4. Menumbuhkan rasa tanggung jawab kepada anak yang berkaitan; dan 

5. Menjadikan salah satu perlindungan terhadap anak sesuai dengan hak yang dapat diterimanya sesuai dengan hak yang tercantum dalam UU SPPA. 

Dalam Pasal 7 ayat 2 UU SPPA pun telah menyebutkan untuk melaksanakan diversi hanya diberikan kepada pidana anak penjara dibawah 7 (tujuh) tahun. Namun, ada kasus dimana seorang anak melakukan tindak pidana kekerasan seksual secara konstan ataupun tidak sengaja ketika ia menginjak usia 12 tahun dan belum secara matang mengetahui konsekuensi atas tindakannya tersebut, dapatkah dikatakan memberikan keadilan hukum apabila langsung dilakukannya persidangan tertutup untuk kemudian memvonisnya dengan sanksi pidana. Oleh karena, pelaksanaan diversi seharusnya perlu dipertimbangkan dalam setiap peradilan anak karena sejatinya anak yang mengalami perkara dengan hukum kenyataannya adalah korban dari apa yang mereka pernah lihat, dengar, dan rasakan serta pengaruh lingkungan sekitar mereka. Dari penjelasan ini, kita mendapatkan pemahaman bahwa banyak unsur yang melatarbelakangi anak untuk melakukan tindak pidana khususnya tindakan kekerasan seksual. 

Berdasarkan pada pendapat para pakar psikologi faktor tersebut diantaranya, yaitu: 

1) pernah menjadi korban kekerasan seksual; 

2) dipengaruhi lingkungan; 

3) perilaku impulsif dan kontrol diri rendah; 

4) kurangnya pembentukkan moral dan nilai-nilai dari keluarga; 

5) kurangnya kedekatan dengan keluarga. 

Adanya faktor-faktor tersebut tentu bukanlah keinginan dari anak melainkan keadaan yang mempengaruhi anak untuk berbuat tindakan pidana. Maka dari itu, solusi yang dapat dilakukan sebagai bentuk perlindungan kepada anak yang berkonflik dengan hukum tersebut yakni melalui pelaksanaan diversi. Diversi ini berguna untuk menjauhkan anak dari seluruh proses peradilan yang dilaksanakan secara formal sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap anak yang berkonflik dengan hukum dan diharapkan anak dapat kembali diterima ke dalam lingkungan sosial masyarakat secara wajar, demi mencari solusi untuk memperbaiki dan rekonsiliasi yang tidak berdasarkan pembalasan. Pelaksanaan diversi dilatar belakangi karena adanya keinginan untuk menghindari efek negatif terhadap anak, terkhusus pada jiwa dan perkembangan anak yang berpotensi terdampak apabila penyelesaian proses pidananya dilakukan melalui sistem peradilan pidana pada umumnya.

Oleh karena itu, diharapkan kepada para aparat penegak hukum, perlunya melaksanakan dan menjalani tugas yang baik dalam tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan, dan penentuan putusan perkara pada sidang pengadilan yang seharusnya mengutamakan penerapan diversi yang merupakan perwujudan dari restorative justice terhadap kasus kekerasan seksual dimana anak yang menjadi pelakunya.  

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun