Â
Â
Alkisah disebuah desa yang sangat terpencil, dibawah sebuah bukit gunungsri hiduplah seorang janda miskin. Janda miskin tersebut, kita sebut saja namanya mak Jejem. Mak Jejem adalah seorang janda dengan seorang putri cantik nan lincah yang bernama Mumun. Dalam kesehariannya ditengah keterbatasan ekonominya yang sangat mengenaskan dan memprihatinkan, mak Jejem mengandalkan daun -- daun pring (Bambu) untuk ia rangkai menjadi sebuah welit. Setiap hari sebelum subuh mak Jejem sudah bangun hanya untuk mengadukan nasibnya pada yang kuasa tentang nasibnya yang malang. Dalam doa -- doanya wanita tua itu meminta agar kehidupan anak semata wayangnya tidak seperti dirinya, ditinggalkan suaminya ketika buah hatinya Mumun masih dalam kandungan belum sempat terlahir kedunia. Bahkan tidak hanya itu saja, ayah Mumun meninggal secara mengenaskan karena mendadak meninggalkan dunia ini dalam keadaan sehat- sehat saja, namun beliau diambil oleh sang maha kuasa pada saat beliau masih dalam kondisi tidur namun setelah itu tidak terbangun kembali hingga sekarang. Pada saat itu hancurlah hati mamak Jejem karena harapan untuk bahagia bersama pria idamannya pupus ditelan takdir.
Namun demikian ia tidak pernah berkecil hati berputus asa dari Rahmatnya, Ia yakin disuatu saat nanti dirinya dan juga anak keturunannya akan mendapatkan kebahagiaan yang ia dambakan. Ia segera berkelebat bangkit untuk mengubah nasib diri demi kebahagian putri kecilnya, Mumun.
Kini Mumun telah tumbuh menjadi gadis kecil yang pendiam, tidak banyak berkata dan lebih suka menyendiri, tidak seperti layaknya anak perempuan di desanya yang ceria dan penuh kata ketika bertemu berpapasan dengan sesama, bermain dengan teman sebayanya. Yang ada dalam hati dan pikiran Mumun adalah ia hanya seorang anak yatim dari emaknya yang sangat miskin. Sehingga ia harus berhati -- hati dan terus menjaga diri agar emaknya tidak makin di maki atau dibully tetangga kampungnya. Dalam pikirannya ia hanya ingin membuat kebahagiaan emaknya ditengah -- tengah kemiskinan dan ketidak berdayaannya dalam hal apapun, termasuk dalam menentukan keputusan berkata TIDAK untuk emaknya, walaupun nuraninya bergejolak. Akan tetapi satu kata yang hanya ia pikir,,,emaknya bahagia...
Hingga suatu saat, sang emak memutuskan untuk ngawula,bekerja mengabdikan diri pada sebuah keluarga besar, terpandang dan terhormat serta dikenal denagn kekayaannya,karena keluarga itu adalah keluarga mandor karet sejak penjajahan Belanda dimasa lalu. Kebunnya luas berada dimana -- mana, setiap wilayah didesanya hampir semua miliknya. Ternaknya juga tak terbilang, dari kerbau,kambing,ayam serta kolam ikan di desanya hampir semua milik keluarga tersebut. Sebut saja keluarga kaya tersebut bernama mbah Jan. Mbah Jan memiliki beberapa anak diantaranya adalah Kang Narso. Kang Narso adalah seorang pemuda yang baik hati, tidak sombong serta suka menolong walaupun ia adalah seorang yang cerdas serta berjiwa pemimpin. Banyak orang suka dan simpati padanya baik perempuan maupun laki -- laki, terlebih anak - anak gadis seusianya.
Pada suatu hari, ketika dibulan suci Ramadhan mbah Jan tokoh didesa itu mengumumkan akan ada perlombaan hafalan untuk anak -- anak  dikampung dan sekitarnya yang akan dihadiri oleh pejabat waktu itu. Hingga waktu yang ditentukan telah tiba, Disuatu tempat berkumpullah para peserta lomba dari berbagai wilayah kampung, baik anak laki -- laki maupun perempuan berduyun -- duyun untuk mengikuti lomba tersebut. Dipojok bangunan, diserambi gedung itu, seorang anak gadis ditemani mbah Jan majikannya sedang berdiri termangu menunggu giliran untuk maju dipanggil oleh panitia lomba untuk menunjukkan kebolehannya menghafal surat pendek dari qur'an. Dengan rasa berdebar dan was -- was serta keminderannya ditengah peserta lain yang berpenampilan mentereng bagus -- bagus, berpakaian layak serta ditemani orang tuanya, sedangkan ia...pikiran itu terus berkelebat dalam alam bawah sadarnya tanpa ia sadari.
Saat yang ditunggu -- tunggu, ketika pengumuman hasil lomba diperdengarkan dipanggung, sayup -- sayup antara percaya dan tidak nama Mumun gadis belia itu disebut sebagai sang pemenangnya, pemenang terbaik dengan suara terindah dan kelancaran membaca ayat -- ayat Qur'an terlantun dari bibirnya yang mungil,diantara kesadaranya itu,ia merasakan ada seseorang yang membopongnya,mengangkatnya kepanggung untuk menerima hadiah, tentu semua orang kaget disana,sebab sang pemuda yang membopong Mumun adalah Bang Narso,,,ya bang Narso pemuda tampan dambaan gadis -- gadis dikampung itu. Ya siapakah yang tidak kenal putra dari mbah Jan yang sangat kaya itu? Siapa yang tidak kenal dengan orang yang terpandang diwilayah itu?,,,betapa malunya Mumun,walaupun dibalik malunya itu ia memendam rasa bangga, bahagia dan tak tahu apa yang ia rasakan saat itu, dalam benaknya kembali berkelabat setitik rasa harapan tuk kemuliaannya, jiwa perempuanya berbunga-bunga bagai tersiram hujan ditengah padang tandus, entah apa itu namanya, namun itu tak berlangsung lama, segera ia tepis rona-rona hatinya tersebut untuk kembali sadar akan dirinya, ia teringat Emaknya yang selalu memberinya nasehat untuk mawas diri, "Tahu diri nduk, awake dewe kui sapa". Begitu selalu welingnya. Dari sinilah awal cerita Kelebat sang bidadari dimulai. Tidak lama setelah peristiwa itu, kedua orang tua bang Narso, Mbah Jan dan istrinya mulai perhatikan Mumu, terutama ketika ia ikut membantu emaknya untuk membersihkan rumah maupun masak ataupun hanya sekedar ngrumat kebun dan ladang keluarga  Mbah Jan ayah dari kang Narso.
Hingga suatu hari ketika Mumun dan Emaknya  sedang menumbuk padi dirumah Mbah Jan, istri mbah Jan memanggil Mumun dan Emaknya, dengan tergopoh -- gopoh dan penuh tanda tanya, kedua perempuan itu penuh diliputi berjuta pertanyaan berkelebat dalam pikiran dan hatinya, kedua perempuan anak dan Emaknya itu takut telah melakukan kesalahan atau tindakan yang membuat hati mbah Jan dan keluarganya tersinggung ataupun kerugian lainya. Dengan penuh sopan, canggung dan hormat yang tinggi kedua perempuan itu menghaturkan salam dan takdzimnya untuk istri Mbah Jan. Tak dinyana ternyata istri mbah Jan adalah juga perempuan dengan kebaikan hati yang tinggi, kemuliaan akhlak telah ditunjukkan istri Mbah Jan dengan memeluk serta menjabat tangan mak Jejem dan Mumun gadis belia tersebut dengan lembut dan penuh hangat.Betapa lega kedua perempuan itu, ternyata kilatan ketakukan dan kekhawatirannya selama ini terjawab sudah, kelebat pikiran jahat itu sedikit demi sedikit sirna, luluh ditelan waktu yang berlalu. Perempuan paruh baya itu menanyakan nama Mumun, apa cita-citanya serta bagaimana perasaanya ketika tinggal bersama keluarganya. Dengan sangat sopan dan hati-hati Mumun menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan iringan kelebat rasa takut tetap menghantuinya. Setelah peristiwa itu, ketiga perempuan tersebut sering terlihat akrab dan gontai dalam gelak tawa melaksanakan tugas -- tugas rumah tangga di keluarga Mbah Jan.
Hingga akhirnya, Mbah Jan mengumumkan perjodohan antara Bang Narso dan Mumun. Betapa kaget seluruh antero kampung itu, seakan tak percaya dengan keputusan sang tokoh pemuka desa tersebut. Gadis -- gadis berbisik-bisik, perempuan muda, tua berkomentar ditambah  kaum Adam yang ada di kampung tersebut ikut menyatakan keheranannya, kenapa Mbah Jan memilih Mumun yang hanya gadis kecil anak dari seorang janda miskin yang ia pilih menjadi menantunya, padahal banyak anak gadis yang lebih layak,lebih sepadan dan lebih selevel dengannya masih banyak dikampung itu dan mereka tak mungkin menolak bila Mbah Jan melamarnya menjadikan menantu untuk Narso putra sulung kesayangannya. Dengan perjodohan tersebut, tentu Mumun dan Emaknya yang lebih tidak percaya, mereka hanya bisa diam dengan segala celoteh warga kampungnya, dalam hati kecil kedua bidadari itu berkelebat sejuta asa syukur yang tiada terkira, disamping sisi hati yang lain tersayat karena perilaku penduduk kampungnya. Tetapi mereka hanya diam, mereka hanya memasrahkan nasib pada yang diatas,biarlah Gusti Allah kang murbaing dumadi yang akan menentukan nasibnya kelak,,,begitu pesan Emak Mumun. Terlebih Narso,pemuda ini lebih shok. Ia ingin berontak pada kedua orang tuanya, ingin rasanya ia berlari meninggalkan kampung halamannya untuk melupakan apa yang sudah menjadi keputusan ayahnya, Tetapi itu semua tidak ia lakukan karena bakti dan cintanya kepada kedua orang tuanya, ia tidak ingin ayah dan ibunya terluka, tersakiti dengan tingkahnya,satu tekadnya yaitu ingin membahagiakan orang tuanya, terutama ibunya. Ia tidak ingin merusak keindahan hubungan antara ibu dan kedua bidadari yang telah berjasa menemani ibunya mengurus rumah tangga selama ini, ia juga tidak ingin ibunya sakit atau kecewa dengan keputusanya. Diam- diam pemuda itu memendam dan mematikan amarahnya dan mencoba pelan -- pelan mengenal Mumun calon istrinya. Memang tidaklah mudah bagi ia untuk itu,tapi karena cintanya pada ibunya lebih diatas segalanya maka ia yakin akan mendapatkan pertolonganNya, untuk memberikan jalan yang terbaik baginya dan bagi calon istrinya Mumun. Hingga akhirnya kini mereka mencoba merenda hari -- hari dengan penuh bahagia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI