Waktu itu saya sudah bekerja di sebuah bank BUMN dengan kinerja yang baik. Otomatis saya memiliki penghasilan yang sangat lumayan. Saya belum menikah dan masih berpacaran dengan seorang mahasiwa fakultas teknik yang memiliki keuangan seret alias kere. Kini memang dia sudah menjadi suami saya. Sewajarnya menurut saya kalau sedang kencan dengan pria pastilah wanita yang dibayarin. Itu wajar. Kalau pun perempuan yang membayari, paling hanya sesekali. Pengalaman saya dekat dengan pria, tidak pernah saya yang bayarin saat kami bersama.
Pacar saya ini tidak punya uang sehingga dia jarang mengajak saya keluar. Dia mengajak saya keluar kalau ada uang dari hasil asisten lab di fakultasnya. Saya mengerti sendiri tanpa bertanya, dia tidak mungkin mengajak saya keluar tanpa uang. Akhirnya karena sudah memiliki penghasilan yang mapan, saya sering mengajak dia dengan kalimat awal, “Kita jalan yuk, aku yang bayarin deh!” Saya senang jalan bareng dengan dia sehingga saya malas harus lama-lama menunggu sampai dia punya uang. Alhasil saya yang selalu membayarinya.
Saya sadar kondisi seperti ini kurang baik sehingga saya rahasiakan kepada siapa pun. Saya tidak mau dibilang bodoh, apa tidak ada laki-laki lain, atau saya hanya dimanfaatkan. Saya mengusulkan ke dia untuk menyusun kebohongan kecil he..he.. Mohon jangan ditiru ya. Saya bilang, “Orang pasti bakal ada yang nanya siapa yang bayarin kalau kita jalan. Kamu jangan bilang aku yah. Kamu bilang kalau kamu yang bayarin. Oke?!”
Pacar saya setuju. Benar dugaan saya, papi pacar saya (bapak mertua saya kini) bertanya padanya, siapa yang bayarin kalau kami ketemuan. Pacar saya menjawab sesuai rencana. Entah papinya percaya apa enggak yang pasti karena itu papi pacar jadi suka memberi duit tambahan ke pacar saya buat jalan. He..he..baik yah papi mertua saya. Tetapi pemberian orang tua juga tidak banyak karena harus memikirkan biaya kuliah adik-adik pacar saya juga.
Saya juga sebagai perempuan pasti lebih senang donk ditraktik daripada mentraktir. Saya senang lihat perempuan dibayarin, kalau membayarin kok ada perasaan gengsi dan malu gitu. Akhirnya, kalau pacar tidak ada duit, diam-diam saya kasih duitnya ke dia terus dia yang bayarin ke kasir. Jadi, kesannya saya dibayarin he..he…
Syukurlah akhirnya pacar saya bekerja dan tidak ada lagi yang namanya saya yang membayari. Saat kini pun sudah menikah dia menyerahkan pengelolaan keuangan sepenuhnya kepada saya. Jangan khawatir, setiap bulan aliran dari rekeningnya akan semua kembali ke saya he..he..Padahal tidak pernah saya minta, seolah terjadi begitu saja.
Saya pernah tanya ke dia, “Mengapa kamu memilih menikah dengan saya? Kamu sudah lihat sendiri banyak wanita yang jauh lebih menjanjikan bukan?” Katanya, “Kamu menerima saya waktu susah. Saya percaya kamu pasti menerima saya sampai selamanya” so sweet. Syukurlah apa yang saya lakukan memberikan hasil yang baik. Satu hal yang membuat saya tidak ragu rajin mentraktir pacar saya itu adalah karena dia seorang yang pekerja keras, pintar, IPK bagus, memiliki cita-cita yang tinggi, dan yang tidak kalah penting adalah hati kecil saya yakin padanya.
Tulisan ini tidak mengajak perempuan untuk begitu saja rajin mentraktir pacar. Perlu ketelitian untuk menilai situasi apakah memang benar kondisinya harus demikian sehingga jangan sampai kita malah dimanfaatkan karena banyak juga yang memang dimanfaatkan. Satu hal yang tidak saya sangka adalah apa yang saya lakukan dulu bagaikan investasi besar yang baru memberikan hasil saat ini. Dulu saya tidak berpikir terlalu jauh, hanya merasa saya mengasihinya dan kondisi saat itu saya yang harus menopang. Siapa sangka dia kini situasinya malah terbalik. Syukurlah tindakan saya berpacaran dengan pria kere membuahkan hasil yang bagus. He..he..
Salam,
Rahayu Damanik
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H