Sejak dulu saat saya masih SMP mama saya sudah mengungkapkan keinginan yang besar. Sebuah harapan untuk saya, anak perempuan pertamanya. Mama sungguh berharap kelak saya jadi seorang PNS sama seperti dirinya yang juga adalah seorang PNS. Kata mama yang bertugas di salah satu kantor kecamatan di daerah kami Sumatera Utara, bila saya menjadi PNS maka kerja tidak terlalu berat dan sudah bisa pulang jam tiga sore. Anak-anak bisa diurus dengan baik daripada bekerja swasta biasanya sudah tidak ada waktu mengurus anak. Begitu hasil pengamatan mama.
Tanpa disuruh saya memang ingin menjadi seorang perempuan yang memiliki karier yang tinggi tentu saja! Demikian dalam hati saya. Apalagi kata mama, memiliki anak yang berstatus PNS adalah hal yang paling membanggakan bagi orang tua di daerah. Anak yang berstatus PNS adalah harta yang tak ternilai jumlahnya. Hal ini membuat saya semakin berharap untuk menjadi seperti harapan mama meskipun tidak menjadi PNS karena saya kurang tertarik. Saya ingin bekerja sebagai salah seorang karyawan BUMN.
Memang saat saya sudah bekerja di Jakarta, maka saat pulang kampung hal pertama yang sangat ingin diketahui orang adalah, “Kerja dimana?” kemudian pertanyaan pun berlanjut, “Itu negeri atau swasta?” Bila saya jawab swasta maka wajah penasaran si penanya akan sedikit berubah tidak enak. Entah apa yang dipikirkan mungkin saja hati mereka berkata, “Kuliah jauh-jauh di Jakarta kok kerja di swasta? Anak saya kuliah hanya di daerah bisa menjadi PNS” Mungkin demikianlah apa yang ada di benak mereka. Entahlah, namun yang pasti gengsi PNS di daerah saya adalah status yang mengalahkan profesi apa pun.
Keinginan membangun karier yang tinggi memaksa saya untuk bekerja keras seperti melanjutkan kuliah S2 dan dalam kondisi hamil besar mengambil kursus pajak sehingga harus sampai rumah setiap hari jam sepuluh bahkan pernah sebelas malam. Saya ingin menjadi wanita karier yang sukses, demikian harapan saya. Saat saya bekerja memang begitu berdedikasi sehingga tidak heran pernah mendapat penghargaan sebagai the best of the month.
Sebelum menikah, saya bekerja dari pagi bahkan sering baru pulang kantor jam delapan malam. Sampai pacar saya yang kini menjadi suami saya mengatakan, “Untuk apa kamu kerja keras seperti itu? Kamu cuma dibayar kerja dari jam delapan pagi sampai jam setengah lima sore. Namun kamu bekerja dari sebelum matahari terbit sampai malam banget” Saya tidak terlalu ambil pusing, bagi saya loyalitas untuk memberikan yang terbaik di atas segalanya.
Semuanya berubah saat saya melahirkan anak pertama. Sungguh aneh, keinginan untuk membangun karier menguap begitu saja sampai tidak ada yang tersisa sama sekali. Satu-satunya yang saya inginkan adalah merawat anak saya. Saya ingin dekat dengannya dan mengasuhnya dengan sangat baik. Akhirnya, saya pun mengasuh anak dan berhenti berkarier. Singkat cerita saya ingin membuka usaha penitipan anak.
Saya menelepon mama di kampung kemudian saya mengungkapkan keinginan membuka usaha penitipan anak. Saya menerima tanggapan yang agak mengecewakan, “Kamu mama kuliahkan tinggi-tinggi bukan untuk buka usaha. Kamu coba masuk PNS ya!” Sedetik saya sedih mendengar perkataan mama saya namun bukan Rahayu namanya bila terlalu memikirkan pendapat orang lain termasuk mama saya.
Tidak salah orang tua memberi masukan namun saya sudah memikirkan matang-matang keputusan saya. Saya ingin membuka usaha penitipan anak sambil menulis buku kemudian kalau anak-anak sudah remaja dan bisa ditinggal sesekali, saya akan menjadi dosen dan pembicara sambil terus menulis buku. Harapan saya, hasil royalti bisa dijadikan untuk mengajak anak-anak dan suami jalan-jalan ke Eropa dan Amerika. Termasuk membantu suami untuk persiapan biaya kuliah anak.
Sungguh bahagia menjalani pilihan saya sampai saat ini karena saya tidak perlu khawatir mengenai anak-anak. Saya bisa mengawasi penitipan anak sambil menulis buku, memasak untuk anak-anak, memasak untuk suami, dan memastikan rumah dalam keadaan tenang dan nyaman. Saya semakin yakin akan keputusan diri mengingat semasa kecil saya hampir mendapatkan pelecehan seksual dari seorang yang tidak bertanggung jawab saat kedua orang tua saya bekerja. Syukurlah saya dijaga Tuhan dari segala yang jahat. Saya sungguh bahagia dengan kondisi ini, berbeda dengan beberapa teman yang sudah berstatus PNS dan sering galau melihat kondisi anak yang ditinggal bekerja. Terkadang mereka ingin resign namun seolah tidak berdaya.
Satu harapan saya, ingin melihat mama saya panjang umur dan sehat. Semoga Tuhan tidak memanggil beliau secepat Tuhan memanggil bapak saya. Saya ingin mama melihat impian saya berhasil sehingga mama paham kalau PNS bukanlah jalan satu-satunya untuk meraih kesuksesan. Saya ingin mama menyaksikan saat saya telah sukses menjadi penulis buku best seller dan menjadi pembicara yang banyak menginspirasi orang.
Saya berjanji uang kuliah yang sudah orang tua keluarkan tidak akan sia-sia. Satu hal yang membuat saya terharu adalah saat mama mengunjungi rumah di Tangerang untuk melihat kelahiran anak kedua saya, mama melihat sendiri saya membuka usaha penitipan anak. Mengejutkan mama bilang seperti ini, “Lebih baik begini ternyata ya, cucu-cucu juga aman karena kamu di rumah”. Saya menoleh ke arah mama seolah tidak percaya dengan pendengaran saya.