Uluran Tangan Seorang Pejabat
Masih lekat dalam ingatan. Pada tanggal 21 Juli 2015 saya, suami, dan anak-anak mengunjungi pemakaman oppung (orang tua almarhum bapak) saya di Nagori Tani Kecamatan Silau Kahean Kabupaten Simalungun Sumatera Utara. Sekitar pukul dua belas siang, setelah lima jam perjuangan di dalam mobil menembus jalanan rusak nan terjal, sampailah kami di tanah kelahiran bapak saya.
Mengejutkan karena saat tinggal beberapa meter dari rumah dan pemakaman oppung, tiba-tiba mobil kami harus berhenti dan menepi demi memberi jalan bagi rombongan mobil yang sedang lewat. Seperti ada seorang pejabat beserta rombongan yang datang.
Saya bertanya pada penduduk yang antusias memadati jalan perkampungan untuk menyaksikan peristiwa yang jarang terjadi di salah satu pedalaman tersebut. Ada apa gerangan? Ternyata rombongan Bupati Simalungun sedang datang berkunjung ke Nagori Tani.
Rombongan mobil itu pun berhenti di depan rumah oppung saya. Ternyata beliau datang untuk mengangkut penduduk Nagori Tani yang sedang sakit. Tak disangka ternyata rumah warga yang sakit itu berdampingan dengan rumah Oppung.
Penduduk Nagori Tani itu diangkat dengan tandu dan dimasukkan ke dalam sebuah ambulans yang kabarnya akan diangkut dengan menggunakan helikopter menuju rumah sakit yang memiliki fasilitas yang lengkap. Cukup jauh dari Nagori Tani.
Hanya terpisah sekitar tiga rumah dari rumah warga yang sedang sakit itu, ada rumah bapak tongah (adik kandung bapak) saya. Sayangnya bapak tongah saya sudah meninggal sekitar dua puluh tahun yang lalu.
Beliau menderita sakit tumor. Namun karena tidak ada uang dan keluarga besar tidak ada yang bisa diandalkan untuk biaya pengobataan maka bapak tongah saya terpaksa hanya mengandalkan obat kampung hingga suatu saat beliau meninggal dunia.
Saya masih ingat banget pernah disuruh untuk mengoleskan obat tradisional ke bagian kaki bapak tongah yang sempat tinggal sekian lama di rumah saya. Saya tidak tahu persis bagaimana kisahnya mengapa bapak tongah sampai tinggal beberapa saat di rumah saya.
Namun yang pasti ketersediaan danalah yang membuat bapak tongah tidak mendapatkan pengobatan yang optimal. Dua puluh tahun yang lalu, bapak mama juga masih hidup dalam kesederhanaan. Sehingga tidaklah memungkinkan membiayai pengobatan bapak tongah yang sungguh menderita dengan tumor di bawah perut yang kian hari semakin membesar.
Saya berandai-andai bila saja bapak tongah saya yang mendapat pertolongan sang bupati dua puluh tahun yang lalu mungkin beliau bisa mendapatkan pengobatan medis, sembuh, dan tidak meninggalkan istri dan lima orang anak yang masih sangat kecil-kecil. Saya pun sadar ternyata tidak bisa mengandalkan uluran tangan seorang pejabat untuk sembuh. Apalagi saya memiliki banyak sekali keluarga besar yang hidup susah di Nagori Tani.