Mohon tunggu...
Rahayu Damanik
Rahayu Damanik Mohon Tunggu... Administrasi - Ibu Rumah Tangga

Best in Specific Interest Kompasianival 2016

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Orang Tua Pilih Kasih adalah Fakta bukan Mitos

11 Desember 2015   15:41 Diperbarui: 14 Desember 2015   17:44 27745
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi-Pilih Kasih Memicu Pertikaian (Shutterstock)"][/caption]Orang tua yang bijaksana pasti akan berusaha membagikan kasih sayang secara adil kepada semua anak-anaknya. Sayangnya, walau sudah berusaha benar-benar adil tetapi bisa saja anak menilai orang tuanya pilih kasih. Pada dasarnya orang tua mungkin tidak bermaksud membeda-bedakan kasih sayang kepada anak-anaknya. Papa mama awalnya hanya lebih dekat ke salah satu anaknya, namun kedekatan yang demikian secara sadar atau tidak memicu orang tua untuk memberi perlakuan yang lebih istimewa. Bukan isapan jempol semata kalau ada orang tua yang lebih care terhadap satu anak dibandingkan dengan anak lainnya. Meskipun orang tua menyangkal, namun pada kenyataannya banyak juga yang terang-terangan menunjukkan perhatian yang lebih besar kepada salah satu anak.

Ada sebuah kisah dimana seorang Bapak mempunyai banyak anak laki-laki. Bapak ini memiliki anak bungsu laki-laki yang paling dia kasihi. Sang Bapak sangat mengasihi si bungsu karena lahir pada saat usianya sudah senja. Mungkin alasannya untuk pilih kasih kepada si bungsu sangat wajar, masuk akal, dan tidak berlebihan.

Semua anak lain sudah menerima curahan perhatian sejak dari mereka anak-anak. Apa salahnya si bungsu yang lahir di usia senja ini mendapat ekstra kucuran perhatian karena mungkin sebentar lagi sang bapak akan meninggal? Si bapak tidak dapat mengontrol dirinya. Dia membelikan jubah bagi semua anaknya, namun jubah untuk si bungsu terlalu indah dibanding milik abang-abangnya. Hati saudara-saudaranya tidak bisa menerima karena di kaca mata mereka sang bapak telah membeda-bedakan sekalipun alasan untuk pilih kasih sangat masuk akal.

Akhirnya karena terbakar api cemburu, si bungsu dijual abang-abangnya untuk menjadi budak orang lain. Abang-abang tersebut pulang ke rumah bapaknya. Sambil pura-pura menangis dan memegang jubah si bungsu yang sengaja mereka lumuri dengan darah hewan. Semua abang mengatakan kalau si bungsu telah mati diterkam binatang buas. Semenjak “ditinggal” si bungsu, bapak tersebut menjadi sering sakit-sakitan. Namun anehnya, tidak ada satu pun di antara anak laki-lakinya yang memperhatikannya atau memberi kekuatan. Sungguh ironis, si bapak memiliki banyak anak laki-laki namun semua seolah menjauh dan sibuk dengan urusan dan keluarga masing-masing.

Sekalipun orang tua memiliki alasan yang kuat untuk memanjakan satu anak namun sikap demikian akan sangat berbahaya bagi si “anak emas”, tidak adil bagi anak yang kurang diperhatikan, dan membuat anak menjauhi orang tua. Apakah ada orang tua yang merasa mengapa ada anak jarang pulang ke rumah kecuali hanya diminta? Mengapa anak tampak tidak peduli padahal orang tua sudah sering sakit-sakitan? Bukankah seharusnya anak merawat orang tua di usia yang sudah renta?

Pilih kasih membuat jarak antara anak dan orang tua terbentang sangat jauh. Anak-anak akan tetap menghormati orang tua tetapi satu hal yang terjadi adalah ikatan batin yang seharusnya ada di antara orang tua dan anak tidak terbentuk karena sejak mereka menyadari orang tua pilih kasih, anak akan terlanjur menilai kalau dirinya tidak terlalu diharapkan. Anak-anak tidak akan bisa memahami alasan pilih kasih orang tua sekalipun terlihat masuk akal. Hati akan tetap terluka bahkan bisa menimbulkan reaksi yang tidak terduga akibat kecemburuan. Pilih kasih adalah sikap tidak bijaksana yang selalu membawa dampak merugikan untuk orang yang kita kasihi maupun bagi diri kita sendiri.

Saya memiliki anak kedua bernama Jessie. Sewaktu baru lahir, otomatis perhatian saya tercurah hampir semua kepadanya. Anak saya Christo cemburu dan berkata, “Mama, jangan sayang Jessie, sayang Christo saja!” saya tersentak sewaktu anak saya Christo mengatakan demikian. Padahal saya sayang kepada keduanya walau waktu saya lebih banyak tercurah pada Jessie.

Saya perlu instropkesi diri. Setelah dipikir-pikir, ternyata benar saya sudah tidak adil kepada Christo. Loh kok bisa? Bukankah wajar anak bayi jauh lebih diperhatikan daripada abangnya yang saat itu sudah hampir tiga tahun? Saya tidak adil karena adanya pemikiran di otak saya yang menganggap WAJAR kalau saya lebih perhatian pada Jessie karena sewaktu Christo bayi saya juga sangat perhatian padanya.

Pemikiran saya inilah yang membuat terjadinya ketidakkadilan karena menimbulkan excuse di dalam diri saya untuk membeda-bedakan perhatian kepada anak. Padahal Christo membutuhkan perhatian dengan kualitas yang sama seperti saat sebelum adiknya lahir. Oleh karena itu, saya harus melipatgandakan perhatian sehingga tidak ada yang merasa kurang kasih sayang.

Bila saya tidak mengurangi kualitas perhatian dan cinta kepada Christo maka dia tidak akan cemburu saat saya sedang bermain-main dengan Jessie. Sebab dia tahu persis mamanya juga sangat mencintainya sama seperti adiknya dicintai. Kehadiran adik tidak bisa mengurangi kualitas cinta mama kepadanya sehingga dia akan mencintai adiknya dan tidak menganggapnya sebagai saingan.

Sebaiknya hindari pemikiran orang tua yang seperti ini:

  1. Wajarlah saya lebih care kepada anak saya Ani soalnya dia sudah diceraikan suaminya, dia selalu bersedih sehingga membutuhkan perhatian yang lebih besar daripada anak saya Shinta yang sangat dicintai oleh suaminya.
  2. Wajarlah saya lebih perhatian kepada Budi daripada kepada Doni karena Budi sakit-sakitan dan terlihat lemah dalam belajar. Sementara Doni sehat, kuat, pintar, dan terlihat dewasa.

Perlakuan yang selalu mengutamakan anak yang dianggap lebih lemah akan membuat anak tersebut tidak bisa survive dengan kelemahannya, manja, dan tergantung kepada orang tua. Semakin digenggam, anak akan semakin lemah. Orang tua sangat cemas melepaskannya karena takut terjatuh, takut gagal, dan berbagai ketakutan lain yang semakin membuat naluri orang tua ingin terus melindungi anak. Kemanjaan yang diberikan akan membuat anak kesayangan cenderung tidak kuat menghadapi kehidupan yang keras. Alih-alih memanjakan, lebih bermanfaat melatih anak survive, beradaptasi, dan membantunya menemukan kekuatan di tengah kelemahannya agar kualitas hidupnya lebih baik. Bila kelak orang tua sudah meninggal, sang anak akan mampu berdiri di kaki sendiri.

Anak yang dianggap lebih matang mungkin tidak akan keberatan bila orang tua jauh lebih fokus memperhatikan anak yang lebih ringkih. Namun akan ada rasa sedih, kesepian, dan haus akan perhatian. Padahal, semua anak tanpa kecuali membutuhkan perhatian dan pendampingan yang cukup dari orang tua untuk mendukung pertumbuhan karakter, potensi, dan daya tahan mental yang maksimal.

Sebaiknya hilangkan juga pemikiran seperti:

  1. Anakku Doni lebih perhatian padaku daripada Jojo. Wajarlah saya lebih perhatian kepada Doni.
  2. Wajar saya mencintai anak laki-laki saya yang satu-satunya karena anak perempuan saya sudah ada enam orang. Tidak salah saya memberi cinta lebih pada anak laki-laki apalagi dia juga anak bungsu. Selain itu, anak perempuan saya bakal menikah dan pasti lebih fokus kepada suaminya nanti. Sementara anak laki-laki saya walau dia menikah namun kelak akan bertanggung jawab atas hidup saya.
  3. Wajar saya lebih perhatian kepada Wati karena jauh lebih pintar daripada Nina. Kelak Wati yang akan mengharumkan nama keluarga.

Bila orang tua berpikir seperti di atas, itu namanya orang tua mencintai anak demi keuntungan pribadi. Sebuah cinta yang egois bukan cinta yang tulus (unconditional love). Anak yang dicemburui juga merasa terbeban karena mengemban harapan tinggi orang tuanya. Papa mama seharusnya mencintai anak tanpa syarat dan tidak pandang bulu. Kelak anak-anak akan meneladani keadilan orang tua yang tidak membeda-bedakan kasih sayang kepada anak-anak mereka yang notabene adalah cucu kita dengan alasan yang seharusnya tidak perlu.

Bila karena suatu pertimbangan yang bijaksana , orang tua harus memberi perlakuan berbeda antara satu anak dengan yang lain disebabkan perbedaan usia, karakter, dan jenis kelamin maka pastikan anak mendapatkan alasan. Penjelasan yang dimengerti oleh anak akan membuat anak tidak berpikir kalau kepentingan adik atau kakaknya lebih diperhatikan daripada kepentingannya. Sikap membeda-bedakan adalah kesalahan yang fatal karena membuat keluarga terpecah, tidak rukun, dan kelak ketika anak-anak dewasa, mereka tidak peduli satu dengan yang lainnya.

Sejatinya kasih sayang orang tua menjadi perekat bukan pemisah. Hendaknya kita sebagai orang tua tidak membanding-bandingkan anak. Berikan didikan serta kasih sayang yang sama agar setiap anak tumbuh dengan sempurna. Setiap anak memiliki hak atas kualitas kasih sayang yang sama, oleh karena itu isilah setiap bejana yang kosong dengan air yang sama tinggi. Bila orang tua kita pilih kasih tetaplah menghormati mereka. Perlakukan orang tua kita sekarang sebagaimana kita ingin diperlakukan anak-anak kita kelak. Adakah Bapak/Ibu yang ingin berbagi? Thanks for share :-)

 

Salam,

 

Rahayu Setiawati Damanik

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun