Mohon tunggu...
Rahayu Setiawan
Rahayu Setiawan Mohon Tunggu... wiraswasta -

membaca dan mengamati. ya jika ada waktu menulis.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Komunikasi Politik Jokowi, Remisi Koruptor Duka Perangi Korupsi

25 Agustus 2016   09:23 Diperbarui: 25 Agustus 2016   10:55 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Kalau dari saya, gak usah aja dikasih remisi” (Presiden Jokowi)

Di era pemerintahan Presiden Jokowi kerap kali kita mencermati pesan yang disampaikan Presiden berseberangan dengan para menteri, atau antar para menteri saling berseteru. Bahkan,  menteri sendiri menimbulkan situasi politik yang menimbulkan kegaduhan . Sebut saja tentang remisi koruptor yang dilakukan Menteri Hukum dan HAM (Menkumham), Yasonna Hamonangan Laoly pada saat hari Kemerdekaan 17 Agustus 2016.

Isu remisi sebenarnya bukanlah isu yang baru. Tercatat dalam rekam media di tahun sebelumnya isu ini juga ramai dibicarakan. Bahkan sebelum 17 Agustus 2015, tepatnya 17 Maret 2015 Presiden Jokowi dalam wawancara khusus dengan Radio Elshinta, Jakarta menyampaikan pemberian remisi bagi koruptor itu merupakan wacana dari Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham).  “Kalau dari saya ngga usah aja dikasih remisi,” tegasnya.
Namun, pada prakteknya sebanyak 1.938 narapidana korupsi dari 118.405 narapidana di seluruh Indonesia mendapat Remisi Umum 17 Agustus dan Remisi Dasawarsa 2015. Pemberian remisi tersebut langsung dibacakan oleh Menteri Hukum dan HAM (Menkumham), Yasonna Hamonangan Laoly saat menggelar upacara 17 Agustus 2015 di Lapangan Kemenkumham, Jakarta, Senin (17/8/2015) .  Berlanjut di Hari Kemerdekaan ke-71 Republik Indonesia, pemerintah memberikan remisi terhadap 128 narapidana kasus korupsi .

Terlepas dari argumentasi yang diberikan oleh Menkumham Yasonna Laoly, bahwa pemberian remisi karena lapas sudah penuh, hak asasi setiap orang mendapatkannya, sesuai ketentuan perundangan yang berlaku. Bahkan,  hingga menyatakan yang membuat PP 99 Tahun 2012 tidak mengerti soal peradilan . Pernyataan yang menurut saya kurang elok terdengar.  Sebab tentu saja perudangan dibuat telah melewati proses,  prosedur dan dilakukan oleh sejumlah ahli dibidangnya. Meskipun peraturan yang telah ditetapkan terdapat kemungkinan dapat dibatalkan atau dirubah, oleh MK misalnya.  
Namun, menilai peraturan yang telah ditetapkan dibuat oleh mereka yang tidak mengerti perihal peradilan, sungguhlah tidak elok ! Toh, bisa saja produk peraturan Menkumham Yasona ternyata dibatalkan, dan bukan berarti Mekumham tidak mengerti peradilan toh ?

Serta argumentasi kontra dari pernyataan tersebut yang diberikan oleh beragam lapisan masyarakat, dari Ketua KPK, ICW, Tokoh masyarakat hingga pegiat korupsi  yang berseliweran di media. Saya akan lebih mencermati tentang komunikasi politik yang terjadi diantara Presiden Jokowi dan Menkumham Yasonna Laoly serta dampak yang ditimbulkannya.

Sekilas Komunikasi Politik

Menara Babel akhirnya runtuh karena ketidaksamaan pesan antar pembuatnya. Kesamaan pesan  dari sumber pesan hingga penerima pesan melakukan satu perbuatan yang sama itulah arti penting komunikasi. Dalam, perkembangan ilmu komunikasi sebagai ilmu pengetahuan sosial yang bersifat multidisipliner dapat diterapkan dalam konteks politik. 

Definisi Komunikasi politik menurut Richard M. Perloff (1998) komunikasi politik merupakan proses dimana kepemimpinan nasional, media dan masyarakat saling bertukar dan memberi makna terhadap  pesan-pesan yang  berhubungan dengan kebijakan publik. Sedangkan untuk melakukan analisis komunikasi politik menurut Franklin B, seperti dikutip Ioannis Kolovos dan Phil Harris, komunikasi terfokus  pada analisis; (1) Konten politik pada media; (2) Para aktor dan agen yang terlibat dalam memproduksi konten politik; (3) Dampak konten politik media pada audiens dan/atau pada kebijakan pembangunan; (4) Dampak sistem politik pada sistem media; dan (5) Dampak sistem media pada sistem politik.

Komunikasi Politik Jokowi dan Yasona Isu Remisi

Distorsi konten politik antara Presiden Jokowi dengan menteri bahkan sesama menteri sebenarnya kerap kali terjadi dan tidak menutup kemungkinan hal ini akan terulang. Isu remisi seperti perulangan saja, dan menurut saya akan TERUS terjadi hingga kepemimpinan Presiden Jokowi berakhir.

Aktor politik, konten, media, hingga dampak yang ditimbulkan dari konten politik tersebut sebanarnya berada dalam satu sistem politik. Maka, untuk menganalisa komunikasi politik tersebut, sistem politik menjadi hal yang sangat menentukan. Misalnya saja, era pemerintahan Soeharto. Realitas politik yang terjadi pada saat itu adalah sistem politik otoriter militeristik,  dimana rezim Soeharto mengendalikan konten politik, aktor, media hingga dampak pesan yang ditimbulkan. Pemilu yang katanya “LUBER” (langsung umum bebas rahasia) bahkan sudah dapat ditentukan siapa pemenangnya sebelum dilakukan pemilu.  Pembungkaman konten politik adalah hal yang sering ditemui, bahkan berujung pada penculikan, hingga penghilangan nyawa. Tidak saja terjadi di sipil bahkan anggota legislative mengalami hal yang sama.

Lantas bagaimana dengan sistem perpolitikan saat ini ? Mau tidak mau, suka tidak suka sistem perpolitikan Indonesia menurut Jeffrey A. Winters,  dan Robinson dan Hadiz. saat ini cenderung oligarki. Perpaduan kedua keduanya menarik dimana Winters berfokus pada suatu ciri formasi sosial dimana ditandai oleh kesenjangan distribusi sumber daya material sangat ekstrem. Sedangkan Robinson dan Hadiz menyatakan bahwa oligarki di Indonesia pada dasarnya tidak tumbang pasca reformasi atau jatuhnya Soeharto. Oligarki yang dibesarkan oleh rejim Soeharto terus bertransformasi dengan menyesuaikan konteks politik di Indonesia yang didorong oleh skema Neoliberalisme, misal demokratisasi, desentralisasi, dan deregulasi. Hilangnya patron politik orde baru, membuat para oligark menjadi pemain politik secara langsung guna mempertahankan kekayaannya. Hal ini berlaku tidak saja di pusat pemerintahan tetapi juga di daerah.

Pada pusat pemerintahan sistem perpolitikan kita dapat dilihat kecenderungan kekuasaan berada disegelintir elit partai. Partai-partai besar masih berkutat pada patron kliennya. Keputusan elit partai lebih dikedepankan dibandingkan dengan kepentingan rakyat atau konstituen.  Sehingga sering kali kita dipertontonkan kebijakan politik yang lahir jauh dari harapan rakyat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun