Perkembangan politik pasca pilpres 2014 “mempertontonkan”, kekuasaan republik kini seakan-akan hanya dimiliki oleh dua kubu yakni; Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Jokowi-JK. Namun, realitas politik ini perlu juga mengingat bahwa, buruh tani, nelayan, ABRI, Polisi, guru, penjaja makanan dan elemen rakyat lainnya juga memiliki kuasa atas republik. Menutup mata, mengecilkan akan keberadaan ini niscaya keruntuhan republik tinggal menunggu waktu.
Yang saya maksud dengan kekuasaan dua kubu ini adalah representasi dari partai politik. Dua kuasa tersebut terpolarisasi ke dalam pemerintahan saat ini- era pemerintahan SBY, yang notabene mengakomodir elit partai politik untuk duduk dalam pemerintahan. Maupun pemenang pilpres yang akan mengatur pemerintahan berikutnya, walaupun wacana-kampanye pilpres akan tegas mengeliminir kuasa elit partai politik. Namun, dalam realitas politik yang berkembang saat ini, meskipun salah satu partai politik sudah menguasai mayoritas kursi di parlemen, tetap saja masih membutuhkan “koalisi”. Modus penggabungan partai politik ini ke depan akan menjadi satu tontonan tarik ulur kekuasaan yang makin menjadi-jadi intensitasnya, makin meningkat jika terjadi pertentangan kepentingan politik dengan agenda pemerintahan berikutnya.
Dapat dicontohkan misalnya sidang pilpres di Mahkamah Konstitusi (MK). Eskalasi politik semakin meningkat sejalan dengan putusan MK. Kini setelah keputusan MK, kembali meningkat mengikuti agenda pemerintahan terpilih dengan isu pemerintahan transisi. Dan pengesahan UU MD3 serta RUU Pilkada.
Bahkan, celakanya tarik ulur kekuasaan ini tidak terkendali, membabi-buta, saling tabrak, tidak serta merta memandang adanya keterhubungan langsung dengan pemerintahan berikutnya. Hal yang tidak berhubungan langsung-pun akan tertarik dalam dua pusaran kekuasaan, misalnya mundurnya AHOK dari Partai Gerindra juga bersangkut paut dengan tontonan dua kubu yang dimaksud. Sialnya lagi, hal pengosongan rumah dinas, alokasi anggaran rapat, mobil dinas juga masuk dalam pusaran ini. Sejatinya, peningkatan suhu politik sebenarnya hal yang lumrah dalam siklus politik. Namun , menjadi tidak lumrah jika seakan-akan dipertontonkan bahwa republik ini hanya milik dua kubu tersebut.
Keyakinan dua kubu ini sebagai satu-satunya pemilik republik makin menjadi dalam perumusan kebijakan politik. Pengesahan MD3 yang dimenangkan KMP dalam berbagai kesempatan dinyatakan sebagai petunjuk solidnya KMP, seakan-akan pengesahan ini menjadi kebanggaan, kejayaan, kemenangan rakyat. Dan kebanggaan, kemenangan ini akan dilanjutkan dengan RUU Pilkada. Tetapi menjadi pertanyaan benarkah hal ini menjadi kemenangan rakyat ? Lantas, bagaimana hasil pilpres 2014 yang notabene berdasar pilihan rakyat tidak dinyatakan sebagai kemenangan rakyat ? Menurut, KMP hasil pilpres 2014 diakui dengan catatan hasil dari proses yang tidak baik. Sedangkan hasil pengesahan UU MD3 di DPR sebagai kemenangan KMP karena berjalan dengan proses yang baik di dewan ?
Situasi politik yang kini menguat adalah RUU Pilkada. Jika RUU Pilkada disahkan mau tidak mau siapa yang duduk dalam pemerintahan; kota, kabupaten, dan provinsi di Republik Indonesia tergantung oleh “dalang” dua titik kekuasaan yakni Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Jokowi-JK. Hal ini beralasan mengingat perkembangan partai politik saat ini yang cenderung bersifat oligarkis dengan kuatnya pusat mengkontrol daerah tidak menutup kemungkinan kekuasaan pusat sangat menentukan arah kebijakan koalisi pimpinan daerah. Yang terjadi Jika pemilukada dilakukan melalui DPRD dapat dibayangkan hasil pileg menentukan konfigurasi kepala daerah. Situasi ini akan menjadi bom waktu manakala kepentingan politik pusat akan berbenturan dengan kepentingan politik di daerah. Pemikiran, pemilu langsung sebagai pemicu maraknya konflik horisontal ternyata tidak serta merta tidak terjadi jika melalui DPRD.
Pernyataan sejumlah tokoh politik KMP (Koalisi Merah Putih) bahwa pemilihan kepala daerah melalui DPRD adalah persoalan biaya yang tinggi, banyaknya praktik money politics dan munculnya perpecahan atau konflik masyarakat. Justru menunjukkan kegagalan partai politik dalam melakukan pendidikan politik. Juga menunjukkan salah kaprahnya elit poltik dalam menilai kedewasaan berpolitik rakyat.
Sejatinya, berbagai data menunjukkan kedewasaan berpolitik yang rendah ditunjukkan oleh elit politik. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya pejabat publik baik di DPR, pemerintahan yang tersandung korupsi bahkan kasus asusila menunjukkan sikap kedewasaan berpolitik yang rendah. Belum lagi rendahnya produk legislasi dan keterhadiran dewan. Sikap seperti ini tentu menambah ketidakpercayaan rakyat terhadap dewan- perwakilan rakyat. Jika, wakil rakyat menunjukkan sikap sebagai wakil rakyat yang mau hadir di tengah-tengah rakyat, membela kepentingan rakyat tentu rakyat akan turut, tunduk, menyerahkan kedaulatannya ke tangan wakilnya. Namun, saya tegaskan contoh ini tidak menunjukkan keseluruhan rendahnya kedewasaan dewan, saya yakin masih terdapat wakil rakyat sesungguhnya yang berada di rumah rakyat tersebut.
Tulisan ini hanya sekedar mengingatkan, bahwa realitas politik akan berpotensi mengkristal baik dalam tataran isu baik langsung maupun tidak langsung, dan turu t melibatkan elemen rakyat, tidak saja melibatkan partai politik yang telah membentuk dua kutub, tetapi lembaga lain seperti ormas, dan kelompok lainnya juga akan terlibat.
Konflik politik tentu akan mudah terkanalisasi di kelembagaan dewan, ulur tarik akan terus terjadi baik di tataran partai politik sendiri misalnya di PPP, Golkar, PAN, PKB, dan di antar partai politik lainnya yang nyata-nyata telah tergabung dalam satu kutub. Resapan minyak akan ke minyak, resapan air akan ke air. Katalis keduanya akan dimainkan oleh tataran isu politik.
Dalam hal ini, isu politik akan memainkan peran sentral “jualan kehendak, keingingan rakyat” menjadi jualan yang akan sering terdengar. Contoh kasus; jika saja pemerintah terpilih Jokowi-JK akan menaikkan harga BBM.
Saya hanya mengingatkan, bahwa republik ini bukan saja milik anggota dewan. Wassalam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H