[caption caption="para jago catut berdasi"][/caption]Jokowi kembali geram terhadap pencatut namanya dalam proyek pemerintah. Para jago catut nama kiranya perlu berkaca pada para Jago Era Revolusi. Mereka lahir dari elemen masyarakat bawah. Mereka tidak meminta, merampok, mencatut. Bahkan, sebaliknya mereka memberikan jiwa dan raga untuk kemerdekaan Republik Indonesia !
Baru-baru ini Presiden Jokowi kembali mengingatkan bagi siapapun yang mencatut namanya atas segala proyek yang sedang dilakukan pemerintah untuk diabaikan. Praktek catut-mencatut ini bahkan ditegaskan sudah banyak dilakukan. Praktik kotor yang menodai kemauan politik pemerintahan untuk menciptakan pemerintahan bersih.
Tindakan catut-mencatut, adalah salah satu bagian tindakan jahat. Secara sosiologis tindakan ini sering dilakukan oleh pelaku kejahatan. Persepsi publik terhadap dunia kriminal seringkali diasosiasikan dengan tindakan yang merugikan, meresahkan dan perlu adanya tindakan tegas dari aparat Negara (hukuman).
Menurut beberapa ahli, misalnya saja R. Soesilo membedakan pengertian kejahatan secara juridis dan pengertian kejahatan secara sosiologis. Ditinjau dari segi juridis, pengertian kejahatan adalah suatu perbuatan tingkah laku yang bertentangan dengan undang-undang. Ditinjau dari segi sosiologis, maka yang dimaksud dengan kejahatan adalah perbuatan atau tingkah laku yang selain merugikan si penderita, juga sangat merugikan masyarakat yaitu berupa hilangnya keseimbangan, ketentraman dan ketertiban.
Sekilas tentang Jago Era Revolusi
Dunia kriminal yang nyata-nyata merugikan ternyata tidak selamanya demikian, apabila kita menarik kembali ke sejarah masa lampau, era revolusi. Menurut Robert Crib, dalam bukunya “Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta 1945-1949”. Hubungan antara bandit dan pemerintah terus naik-turun, antara kerjasama dan operasi.
Koalisi antara dunia hitam dan kelompok nasionalis muda radikal sebagian disebabkan oleh kesamaan sikap dalam menentang Belanda dan sebagian lagi karena unsur timbal balik. Para nasionalis melihat para jago sebagai satu dari sedikit elemen masyarakat di bawah kolonialisme yang memiliki keahlian bertarung. Sementara para jago, yang dalam aksi subkultur kriminalnya terkandung kebanditan social, melihat nasionalisme sebagai kesempatan memperoleh masa depan dimana mereka dapat diakui dan dihormati sebagai pemilik kekuatan yang sah dalam komunitas mereka.
Sejarah mencatat, bagaimana Imam Syafa’i pernah menjadi pimpinan gerombolan Senen dan sempat menjabat sebagai Menteri Keamanan Rakyat. Bersama pemuda intelektual lain yakni Adam Malik, Sukarni, Khaerul Saleh, Wikana. Turut andil dalam era revolusi hingga situasi monumental sejarah bangsa yakni perumusan teks proklamasi di Rengasdengklok.
Meskipun setelah intitusi pemerintahan paska kemerdekan telah mapan terbentuk mereka disingkirkan. Bahkan ada sebagian dari mereka kecewa dan membentuk perlawanan terhadap republik dengan mengabdi kepada Belanda sebagai pasukan Here Majesteit’s Ongeregelde Troepen (Pasukan Liar Ratu) atau HAMOT. Namun, sejarah berdirinya Republik Indonesia mencatat peran andil mereka. Peran sejarah yang tidak boleh terlupakan.
Jago Pencatut Nama!
Presiden Jokowi, mewanti-wanti jangan main-main bagi para jago catut. Para jago catut berkeliaran mengobral nama Presiden Jokowi di sejumlah proyek pemerintahan. Berharap para pejabat pemerintahan memberikan proyek.
Para jago catut tentunya bukan dari golongan masyarakat bawah. Para jago catut ini rapih, bersih, penuh dengan harum minyak wangi. Keringat peluh terik matahari, berpanasan bekerja keras, tidak ada sama sekali dalam bau badan mereka. Namun, dengan akses yang ada mereka memiliki kemampuan untuk mengikuti sejumlah proyek. Tetapi, kemampuan yang dimiliki pastinya minim, bahkan kalaupun dapat dibilang tidak ada sama sekali, sebab mereka hanya memiliki kemampuan mencatut. Kemampuan mengobral nama Presiden Jokowi dengan harap menimbulkan kekhawatiran yang mengganggu pejabat pemerintahan.