Mohon tunggu...
Rahayu Ni'mal Maulaty
Rahayu Ni'mal Maulaty Mohon Tunggu... -

Mahasiswi S1 Jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Resume Buku: Laskar Pelangi

24 Agustus 2014   19:47 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:41 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tugas Resume Buku

Nama: Rahayu Ni’mal Maulaty NIM: 1815142131 Fakultas: Ilmu Pendidikan Jurusan: Pendidikan Guru Sekolah Dasar

Judul Buku: Laskar Pelangi

Penulis: Andrea Hirata

Penerbit: Bentang Pustaka

Tahun Terbit: 2008

Tebal Buku: 534 Halaman

Novel ini bercerita tentang sepuluh anak dari keluarga miskin di pulau Belitong yang bersekolah di SD dan SMP Muhammadiyah yang penuh dengan kekurangan. Tapi kekurangan yang ada tidak membuat mereka putus asa, justru semua kekurangan tersebut membuat mereka semangat untuk dapat menggapai cita-cita mereka dan memperbaiki masa depan mereka. Sepuluh anak itu adalah Ikal, Lintang, Mahar, Kucai, Sahara, A Kiong, Syahdan, Borek, Trapani dan Harun. Mereka diberi nama oleh Bu Mus, guru mereka, dengan sebutan Laskar Pelangi. Dan di dalam novel ini ada dua pengajar yang hebat dengan ikhlas memberikan ilmunya tanpa pamrih, yaitu Pak Harfan dan Bu Mus.

Hari itu, hari pertama masuk SD. Para orang tua mendaftarkan anak-anaknya ke SD Muhammadiyah, sekolah kampung paling miskin di Belitong. Didalamnya, terdapat dua orang pengajar. Mereka adalah Bapak K. A. Harfan Efendy Noor, sang kepala sekolah dan seorang wanita muda berjilbab, Ibu N. A. Muslimah Hafsari atau Bu Mus. Kebanyakan orang tua yang mendaftarkan anak-anaknya disana adalah orang-orang Melayu Belitong dari sebuah komunitas paling miskin di pulau itu. Ikal mengenal para orang tua dan anak-anaknya yang duduk di depannya. Trapani misalnya, yang duduk di pangkuan ibunya, atau Kucai yang duduk di samping ayahnya, atau Syahdan yang tak diantar siapa-siapa.

Saat itu, mereka sedang cemas karena Pengawas Sekolah dari Depdikbud Sumsel telah memperingatkan bahwa jika SD Muhammadiyah hanya mendapat murid baru kurang dari sepuluh orang maka sekolah paling tua di Belitong itu harus ditutup, sedangkan saat itu baru sembilan orang yang mendaftar di sekolah tersebut. Pak Harfan dan Bu Mus pun menunggu sampai pukul sebelas siang, jika lewat dari itu, maka sekolah terpaksa harus benar-benar ditutup. Akhirnya, waktu habis karena telah pukul sebelas lewat lima dan jumlah murid belum juga genap sepuluh. Para orang tua, anak-anaknya, Pak Harfan dan Bu Mus pun tampak sedih. Saat Pak Harfan mengucapkan kata pertama dalam pidato terakhir, datanglah Harun, pria jenaka, yang sudah berusia lima belas tahun dan agak terbelakang mentalnya, bersama ibunya. Sekolah pun tidak jadi ditutup karena Harun telah menyelamatkan mereka dan mereka pun bersorak.

Ibu Mus yang beberapa menit lalu sembap, gelisah, kini menjadi sumringah. Sekarang dengan ceria beliau mengatur tempat duduk mereka. Umumnya Bu Mus mengelompokkan tempat duduk berdasarkan kemiripan. Ikal dan Lintang -anak seorang nelayan di desa nan jauh dari pinggir laut- sebangku karena mereka sama-sama berambut ikal. Trapani dengan Mahar karena mereka paling tampan. Borek dan Kucai didudukkan berdua bukan karena mereka mirip, tapi karena mereka berdua sama-sama tidak bisa diatur. Tingkahnya diikuti Sahara, gadis berkerudung yang keras kepala, yang menumpahkan air minum A Kiong hingga ia menangis sejadi-jadinya.

Pagi itu Ikal melihat Lintang dengan canggung menggenggam sebuah pensil besar yang belum diserut seperti memegang sebilah belati, dan pensil semacam itu dipakai para tukang sol sepatu untuk membuat garis pola pada permukaan kulit, bukan untuk menulis. Buku yang dibeli juga keliru. Buku semacam itu baru dipakai saat kelas dua nanti untuk pelajaran menulis rangkai indah. Hal yang tak pernahIkal lupakan bahwa pagi itu ia menyaksikan seorang anak pesisir melarat untuk pertama kalinya memegang buku dan pensil yang nantinya ia akan menjadi orang paling genius yang pernah dijumpai seumur hidup Ikal.

Sekolah mereka adalah salah satu dari sekian banyak sekolah seantero negeri ini. Sekolah mereka hanya memiliki enam kelas yang ukurannya sangat kecil. Pagi untuk anak SD Muhammadiyah dan siang untuk anak SMP Muhammadiyah. Mereka, sepuluh anak baru ini, selama sembilan tahun bersekolah di kelas yang sama dan kelas yang sama, bahkan posisi tempat duduk pun tidak berubah. Mereka kekurangan guru dan sebagian besar dari kami memakai sandal ke sekolah. Kami tidak punya seragam dan kotak P3K jika mereka tiba-tiba sakit. Sekolah mereka juga tidak pernah dikunjungi pejabat, penjual kaligrafi, pengawas sekolah, apalagi anggota dewan. Yang rutin berkunjung hanyalah utusan dari dinas kesehatan yang menyemprot sarang nyamuk dengan DTT. Sekolah mereka juga tidak dijaga karena tidak ada benda berharga yang layak dicuri. Sekolah itu mempunyai bangunan yang menyalahi prinsip arsitektur yang menyebabkan tak ada daun pintu dan kunci. Di dalam kelas tidak memiliki poster operasi kali-kalian, kalender, gambar presiden dan wakilnya, dan juga lambang burung garuda. Satu-satunya tempelan di sana hanyalah sebuah poster yang berada tepat di belakang meja Bu Mus untuk menutupi lubang besar di dinding papan. Atap sekolah yang bocor, berdinding papan, berlantai tanah, atau yang kalau malam dipakai untuk menyimpan ternak, semua telah dialami oleh sekolah mereka.

Dibalik itu semua, ada orang-orang yang rela menghabiskan hidupnya bertahan di sekolah semacam ini. Mereka tentu saja adalah Pak Harfan dan Bu Mus. Pak Harfan telah puluhan tahun mengabdi nyaris tanpa imbalan apapun demi motif syiar Islam. Pak Harfan tampak amat bahagia menghadapi murid, tipikal guru yang sesungguhnya. Beliau mengobarkan semangat mereka untuk belajar, memberi mereka pelajaran pertama tentang keteguhan pendirian, ketekunan dan keinginan kuat untuk mencapai cita-cita. Bu Mus, hanya memiliki selembar ijazah SKP (Sekolah Kepandaian Putri), namun beliau bertekad melanjutkan cita-cita ayahnya untuk terus mengobarkan pendidikan Islam. Selama enam tahun, beliau mengajar semua mata pelajaran. Setelah seharian mengajar, beliau melanjutkan bekerja menerima jahitan sampai jauh malam, untuk menopang hidup dirinya dan adik-adiknya. Bu Mus adalah seorang guru yang pandai, karismatik, dan memiliki pandangan jauh ke depan. Pak Harfan dan Bu Mus adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang sesungguhnya. Mereka adalah ksatria tanpa pamrih, pangeran keikhlasan, dan sumur jernih ilmu pengetahuan di ladang yang ditinggalkan. Mereka sangat menyayangi kesepuluh anak itu, dan Bu Mus menamai mereka dengan Laskar Pelangi karena kegemaran mereka terhadap pelangi.

Ada anak yang sangat menginspirasi di novel ini. Lintang dapat dikatakan tak jarang mempertaruhkan nyawa demi menempuh pendidikan, namun tak sehari pun dia bolos. Delapan puluh kilometer pulang pergi ditempuhnya dengan sepeda setiap hari. Tak pernah mengeluh. Lintang, anak pengumpul kerang ini sangat pintar sekali. Jarinya selalu mengacung tanda ia bisa menjawab. Lintang memiliki level intelektualitas tinggi. Polos, tapi ia mengembangkan sendiri teknik-teknik melokalisasi kesulitan, menganalisis dan memecahkan masalah. Ia juga telah mendemonstrasikan kualitas nalar kuantitatif level tinggi. Ia sangat berkonsentrasi ketika memandangi angka-angka. Berbeda dengan Lintang, Mahar memperlihatkan bakat seni selevel dengan tingginya inteligensia Lintang. Ia seniman yang serba bisa, ia seorang pelantun gurindam, sutradara teater, penulis berbakat, pelukis natural, koreografer, penyanyi, pendongeng yang ulung, dan pemain sitar yang fenomenal.

SD Muhammadiyah mengikuti karnaval 17 Agustus. Guru-guru mereka agak pesimis untuk memenangi karnaval itu. Tapi, Mahar membuat mereka merasa ada sedikit harapan. Mahar untuk pertama kalinya menjadi penata artistik karnaval. Walaupun awalnya mereka pesimis, namun dengan semangat, percaya diri, persiapan yang matang, dan juga dengan kemampuan Mahar yang sangat berbakat di bidang seni, SD Muhammadiyah Belitong mendapatkan piala pertamanya setelah sekian tahun selalu dimenangkan oleh SD Timah PN.

Mereka memiliki cita-cita yang istimewa. Ikal ingin menjadi pemain bulu tangkis yang berpestasi dan menjadi penulis berbobot. Sahara ingin menjadi pejuang hak-hak asasi wanita. A Kiong ingin menjadi kapten kapal. Kucai ingin jadi seorang wakil rakyat, anggota dewan. Syahdan ingin menjadi aktor. Mahar ingin menjadi sutradara sekaligus seorang penasehat spiritual dan hypnotherapist ternama. Samson atau Borek hanya ingin menjadi tukang sobek karcis sekaligus sekuriti Bioskop Kicong karena ia bisa dengan gratis menonton film, ia memang hobi menonton film. Trapani ingin menjadi guru, Harun hanya menjawab bahwa ia ingin menjadi Trapani, dan Lintang yang ingin menjadi seorang matematikawan.

SD Muhammadiyah pun mengikuti lomba kecerdasan. Lomba itu adalah arena terbuka untuk mempertontonkan kecerdasan. Ikal, Lintang dan Sahara menjadi wakil SD Muhammadiyah dalam lomba itu. Di dalam lomba itu, pertanyaan ditujukan kepada semua peserta yang harus berlomba cepat memencet tombol agar dapat menjawab dan jika keliru akan kena denda. Setelah demikian banyaknya mereka menjawab soal dengan baik dan dengan semangat yang membara, akhirnya mereka bertiga berhasil mengharumkan nama perguruan Muhammadiyah. Mereka adalah sekolah kampung pertama yang menjuarai perlombaan itu dengan sebuah kemenangan yang mutlak. Pada hari itu ada pelajaran yang di dapat, bahwa setiap orang, bagaimana pun terbatas keadaannya, berhak memiliki cita-cita, dan keinginan yang kuat untuk mencapai cita-cita itu mampu menimbulkan prestasi-prestasi lain sebelum cita-cita sesungguhnya tercapai.

Setelah beberapa hari sejak memenangkan perlombaan itu, Lintang tidak masuk sekolah. Bu Mus berusaha mencari kabar tentang Lintang kesana-sini. Ketika mereka sedang berunding untuk mengunjungi Lintang, datang seorang pria kurus yang menyampaikan surat kepada Bu Mus. Surat itu dari Lintang. Ia memberi kabar bahwa ayahnya meninggal dunia dan ia sebagai anak tertua harus menggantikan ayahnya mencari nafkah untuk keluarganya. Sebuah perpisahan yang amat menyedihkan karena harus berpisah dengan seorang anak yang genius, yang telah menorehkan prestasi paling istimewa dan yang mengangkat derajat perguruan miskin itu. Akhirnya, saat dewasa, Lintang hanya bisa bekerja menjadi supir truk. Sebuah kenyataan yang menyakitkan dan mengecewakan bahwa banyak anak pintar yang harus berhenti sekolah karena alasan ekonomi, sedangkan banyak orang mampu di luar sana yang menyia-nyiakan kesempatan mereka untuk sekolah dengan bermalas-malasan dan banyak mengeluh.

Tahun 1991, perguruan Muhammadiyah ditutup. Namun, Pak Harfan dan mantan pengajar perguruan Muhammadiyah tidak pernah berhenti mendengungkan syiar Islam. Bu Mus dan guru-guru muda Muhammadiyah mendapat kesempatan dari Depdikbud untuk mengikuti Kursus Pendidikan Guru lalu diangkat menjadi PNS. Bu Mus sekarang mengajar Matematika di SD Negeri 6 Belitong Timur.

Belasan tahun kemudian, para Laskar Pelangi tumbuh menjadi dewasa dan menjadi orang yang sukses. Seperti Ikal yang mendapatkan beasiswa untuk kuliah di Paris. Lalu Syahdan mendapat beasiswa shortcourse di bidang computer network di Kyoto University, Jepang, dan akhirnya menjadi Information Technology Manager di sebuah perusahaan multinasional terkemuka yang berkantor pusat di daerah Tangerang. Kucai menjadi seorang anggota dewan, ia menjadi seorang ketua salah satu fraksi DPRD di Belitong. Dan juga Mahar yang sudah meluncurkan bukunya. Para Laskar Pelangi yang dulunya sekolah dengan penuh keterbatasan akhirnya membuktikan bahwa keterbatasan itu tidak membuat mereka menyerah dalam menggapai cita-cita dan mendapatkan kesuksesan. Berniat dan bersungguh-sungguh untuk menjadi orang yang lebih baik menjadi kunci kesuksesan mereka

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun