"Anak ibu down syndrom. Ibu tau artinya? Kemungkinan anak ibu akan mengalami keterbelakangan mental."
Aku yang baru saja belajar berjalan pasca operasi cesar seperti tak punya tenaga mendengar ucapan dokter anak yang menangani persalinan ku yang ketiga. Kakiku masih mampu menopang tubuhku walau sambil menahan rasa sakit yang dahsyat, namun otakku seperti berhenti. Dadaku bergemuruh hebat, mataku seketika seperti mata air yang tak mampu dibendung. Butir bening mengalir deras membasahi pipi.
Orangtua mana yang ingin melahirkan anak cacat? Rasanya aku tak percaya dengan apa yang dikatakan dokter. Kutatap kotak kecil dengan penghangat di depanku. Kotak yang biasa disebut inkubator. Â Sesosok bayi sangat mungil dengan berbagai selang di tubuhnya tampak bernafas dengan berat. Wajahnya tampan dengan mata kecil dan bibirnya yang amat mungil. Aku tak melihat kelainan yang disampaikan dokter. Bayiku terlihat tampan dan normal.Â
Ah ingin rasanya kusanggah ucapan dokter itu, tapi apa gunanya? Kupejamkan mataku sejenak tuk mengumpulkan kekuatan.. Jika benar seperti yang kudengar dan kubaca, maka aku akan mengalami perjalanan yang tidak mudah dalam membesarkanya.  Penolakan dari keluarga besar suamiku  pandangan mata yang menusuk dari lingkungan sekitar, pun ucapan-ucapan sumbang yang mungkin terdengar bagai sayatan sembilu. Apa yang akan kukatakan pada mereka?
Kukepalkan tanganku erat tuk menahan gejolak emosi yang siap membuncah.
"Rabb bolehkah kupertanyakan kasih Mu?mengapa cobaan ini begitu berat. Bagaimana anakku nanti mampu menghadapi dunia sepeninggal kami nanti? "
Beribu tanya bergulir dalam otakku. Kubayangkan bagaimana wajah anakku nantinya. Stigma idiot yang melekat pada anak downsyndrom, serta kelainan bawaan yang mengikutinya. Sanggupkah aku?
Tiba-tiba bayi mungil dalam kotak itu menangis membuyarkan bayangan gelap tentangnya yang sempat melintas dalam pikiranku tadi. Aku seperti mendapat kekuatan luar biasa.
Dia anakku! Apapun kondisinya, aku mencintainya dari dasar hatiku. Tak perduli dokter berkata anakku cacat, bodoh dsb. Aku percaya sentuhan kasih sayang kami akan membuatnya kian kuat dan mandiri.
Tak ada waktu untuk meratapi nasib, apalagi menyalahkan takdir, sebab menangis takkan membuat nasib kami berubah. Tangisan kami takkan menyelamatkan putra kami.Â
Kutekan dadaku dengan telapak tangan sambil kukatakan pada diri ini untuk bangkit dan berjuang. Belajar pada siapapun tentang perawatannya nanti dan apa yang harus kami lakukan saat dia keluar dari kepompongnya.