Presepsi tentang muslim adalah teroris begitu melekat dalam benak masyarakat Amerika. Berangkat dari berbagai peristiwa terorisme yang dilakukan oleh oknum yang menjadikan Islam sebagai pembenaran dalam setiap tindakan mereka melenyapkan nyawa manusia. Sebut saja peristiwa 9/11 yang menjadi pukulan keras bagi Amerika dan menggoncangkan dunia.
Ketika peristiwa 9/11 itu terjadi, media massa begitu ramai membicarakan dan menayangkan hal tersebut hingga membuat siapa saja yang menyaksikan menjadi ngeri. Tidak berhenti sampai di sana, kasus demi kasus terorisme pun muncul hingga menewaskan puluhan hingga ratusan ribu jiwa yang kebanyakan berkulit putih (barat). Melihat kejadian tersebut di media massa, muncul semacam ketakutan dalam diri masyarakat terutama Amerika bahwa mereka bisa jadi korban berikutnya.
Jika dilihat dari konteks media, media massa di Amerika memberi dampak yang begitu hebat terhadap pandangan masyarakat bahwa muslim adalah teroris. Dengan begitu banyak penayangan terkait dengan aksi terorisme di media massa secara terus menerus, seolah hendak memberi tahu kepada masyarakat bahwa seluruh tindakan terorisme itu dilakukan oleh umat muslim dan muslim itu berbahaya. Sejalan dengan pemikiran Gramsci yang mengatakan bahwa ideologi dapat ditanamkan oleh para penguasa kepada masyarakat melalui media (dikutip dari lib.ui.ac.id/file?file=digital/128578...Kajian%20hegemoni-Literatur.pdf.)
Penguasa yang dimaksudkan dalam teori ini yaitu pemerintah Amerika yang menggunakan suatu media untuk menanamkan ideologi atau pemahaman kepada masyarakat Amerika bahwa muslim atau Islam adalah teroris. Tidak hanya media massa memberitakan peristiwa terorisme secara terus menerus, melainkan juga munculnya beberapa film buatan Amerika yang menampilkan tokoh beratribut Islam sebagai seorang teroris. Film tersebut yaitu The Kingdom, Traitor, dan From Paris with Love (dikutip dari http://eprints.ums.ac.id/32222/).
Beberapa hari belakangan, media internasional geger dengan ditangkapnya seorang remaja berusia 14 tahun pada hari Senin, 14 September 2015 bernama Ahmed Muhamed di Texas oleh pihak sekolah karena membawa sesuatu yang dicurigai sebagai bom. Padahal, Ahmed dengan tegas menyatakan bahwa yang dibawanya adalah jam yang ia rakit sendiri dengan tujuan untuk ditunjukkan kepada guru teknik di sekolahnya. Banyak netizen mengaitkan kejadian tersebut dengan stereotype yang muncul pada nama Ahmed yang kental dengan unsur Islam dan kenyataan bahwa Ahmed seorang muslim.
Sesaat setelah penangkapan tersebut, seorang mahasiswi di Texas bernama Amneh Jafari menyatakan ketidaksetujuannya atas penangkapan Ahmed hanya karena ia seorang muslim dalam bentuk #IStandWithAhmed yang kemudian menjadi popular hingga menimbulkan semacam gerakan #IStandWithAhmed di dunia maya. (Dilansir dari BBC http://www.bbc.com/indonesia/majalah/2015/09/150916_trensosial_istandwithahmed).
Setelah dukungan tersebut populer di duni maya, barulah media beramai-ramai memberitakan. Hal tersebut dibuktikan dengan fakta bahwa gerakan #IStandWithAhmed mulai gempar pada tanggal 16 September, jelas bahwa awal mula #IStandWithAhmed muncul sebelum itu. Media massa baik itu CNN, BBC, Republika, dan lain-lain baru mulai memunculkan berita tersebut pada 16 September (hampir bersamaan dengan gemparnya tren #IStandWithAhmed). Setelah hebohnya berita penangkapan di media sosial dan media massa, barulah beberapa tokoh seperti Barack Obama, Mark Zuckerberg, Ilmuwan NASA, Space camp, dan MIT berbondong-bondong menunjukkan ketertarikannya untuk bertemu dan bahkan bekerja sama dengan Ahmed (disadur dari https://www.washingtonpost.com/news/speaking-of-science/wp/2015/09/16/president-obama-tweets-in-support-of-istandwithahmed/ )
Sangat bertolak belakang dengan presepsi pada masyarakat Amerika bahwa muslim adalah teroris, yang terjadi pada kasus Ahmed justru memunculkan dukungan dari banyak pihak. Bahkan media Internasional (yang notabene berpusat di Amerika) yang mulanya menjadi media untuk menyebarkan pandangan bahwa muslim itu teroris, berbalik arah dan menyatakan ketidaksetujuannya terhadap segala bentuk diskriminasi terhadap agama.
Sementara itu tokoh-tokoh besar sepertinya tidak mau kalah memafaatkan momen dukungan untuk Ahmed. Dengan membuat status di media sosial, seakan memberi citra pada masyarakat bahwa mereka pro terhadap Ahmed serta menolak segala macam bentuk ketidakadilan yang dilatarbelakangi oleh agama. Bukan hal yang salah jika beberapa orang berpendapat bahwa aksi ini sebagai bentuk media maupun personal branding dengan memanfaatkan isu yang sedang populer saat ini.
Jika dilihat dari garis besar masalah, media sosial memiliki andil besar dalam perubahan presepsi di masyarakat. Bermula dari dukungan seorang mahasiswi terhadap apa yang terjadi pada Ahmed, masyarakat menjadi tergerak untuk menyatakan dukungan terhadap peristiwa tersebut. Dari satu orang ke orang lainnya, tren #IStandWithAhmed tersebar hingga membentuk sebuah gerakan untuk mendukung Ahmed. Gerakan tersebut yang akhirnya mendorong media massa dan tokoh dunia untuk berpihak pada Ahmed dan tidak memedulikan presepsi soal muslim adalah teroris. Pada akhirnya, timbul kesan bahwa media massa dan tokoh dunia tersebut memanfaatkan popularitas Ahmed demi merauk simpati dan atensi publik.
Dalam hal ini, berkat munculnya media sosial, masyarakat tidak lagi menjadi individu yang pasif. Masyarakat sekarang ini bebas mengutarakan dukungan maupun ketidaksetujuan terkait suatu peristiwa melalui media sosial dan tidak menutup kemungkinan bahwa media sosial digunakan sebagai media untuk menciptakan gerakan di masyarakat seperti yang terjadi pada Ahmed. Masyarakat dengan pendapatnya, berhak untuk bersuara karena mereka memiliki suara dan bisa bersuara. Power bukan lagi milik siapa yang memiliki kuasa karena pada dasarnya kuasa ada pada setiap mereka yang memiliki suara.