Sebagai penyedia layanan mikroblogging 140 karakter, keberadaan twitter hingga kini masih populer di masyarakat. Dengan jargon saat ini yaitu ‘Connect with your friends – and other fascinating people. Get in-the-moment updates on the things that interest you. And watch events unfold, in real time, from every angle.’ (Dilansir dari www.twitter.com), twitter tidak hanya berfungsi dalam menghubungkan satu orang dengan orang lainnya, melainkan juga mengetahui dan melihat ‘langsung’ apa yang sedang terjadi di tempat lain dalam waktu yang bersamaan.
Dalam perkembangannya, twitter turut andil dalam munculnya tren di masyarakat. Salah satu tren fenomenal yang diciptakan twitter yaitu istilah hashtag. Istilah ini mengacu pada tanda pagar yang akhirnya berfungsi sebagai pengelompokkan post berdasarkan topik bahasan. Namun seiring berjalannya waktu, hashtag tidak hanya populer di twitter saja melainkan juga ke beberapa jejaring sosial lain seperti facebook, instagram, path, dan lain sebagainya.
Hashtag selain berfungsi mengelompokkan status menurut topik yang dibahas, oleh beberapa orang kemudian dijadikan sebagai bentuk gerakan maupun dukungan terhadap suatu fenomena atau kejadian yang ada di masyarakat. Tak jarang, gerakan tersebut justru menimbulkan kontroversi dan konflik antar pengguna twitter. Beberapa hashtag yang sempat menjadi perbincangan hangat di kalangan pengguna twitter Indonesia antara lain #SavePSSI, #ShameOnYouSBY, #SaveHajiLulung, #MenolakLupa, dan lain sebagainya.
Belakangan, terhitung mulai akhir September 2015, masyarakat Indonesia gempar dengan munculnya #MenolakBungkam. Awalnya hashtag tersebut muncul dalam rangka memperingati 50 tahun tragedi 30 September 1965. Namun kemudian masyarakat Indonesia mulai mengaitkannya dengan peristiwa yang menimpa bapak proklamator kemerdekaan Indonesia yaitu Ir. Soekarno. Dalam hal ini, penulis melihat adanya hubungan atau kaitan dari kedua kasus di atas. Jarak waktu yang relatif berdekatan (menjelang berakhirnya Orde Lama dan awal Orde Baru), memiliki hubungan sebab-akibat (dalam tragedi 30S, orang-orang terdekat Bung Karno dibunuh yang mengakibatkan lemahnya posisi Beliau di pemerintahan hingga berujung pada berakhirnya Orde Lama), serta dalang kedua peristiwa yang diduga adalah orang yang sama, membuat penulis merasa wajar bila kemudian peristiwa yang dialami Bung Karno diangkat kembali mengikuti gerakan peringatan 50 tahun tragedi 30 September dalam bentuk #MenolakBungkam.
Dari kasus yang telah penulis jabarkan di atas, mengingatkan kembali pada teori penilaian sosial dalam konteks komunikasi (penulis tidak akan menjabarkan lebih detail mengenai apa yang terjadi saat itu, melainkan penulis melihat dari sisi komunikasi yang terjadi pada tren #MenolakBungkam). Teori ini membicarakan tentang bagaimana individu melakukan penilaian terhadap pesan yang ia terima. Penilaian itu sangat bergantung pada aspek psikologi yang ada pada individu tersebut, diantaranya ego dan pengalaman. Selain aspek psikologi, referensi yang digunakan individu dalam kehidupan sehari-hari, juga mampu mempengaruhi bagaimana seorang individu merespon pesan yang datang padanya. (Sumber : Haruna, Rahmawati. 2004. Proximity dan Kandungan Sosioemosi Isi Pesan Electronic Mail (E-Mail) di Mailing List UNHAS ML. Makassar.)
Jika dikaitkan dengan kasus hebohnya #MenolakBungkam, terlihat bahwa masyarakat (dalam hal ini penerima pesan) memiliki kuasa untuk menilai pesan yang datang pada mereka (masyarakat atau audience aktif). Bukti keaktifan itu terlihat pada mereka yang ikut menyuarakan pendapat dengan #MenolakBungkam.
Individu dalam masyarakat dengan latar belakang pengalaman dan ego, memiliki sikap dan pandangan masing-masing terhadap dua kasus yaitu Bung Karno dengan Gerakan 30 September. Bentuk penilaian mereka terlihat pada pastisipasi yang cukup tinggi terhadap #MenolakBungkam.
Tentunya dikarenakan latar belakang pengalaman, ego, dan referensi setiap individu belum tentu sama, beragam tanggapan muncul terkait kepopuleran hashtag tersebut. Beberapa orang memulai tren tersebut dengan menyatakan sikap yang menghendaki pemerintah untuk meminta maaf terhadap korban dalam peristiwa Gerakan 30 September (korban yang dimaksud adalah orang-orang yang disinyalir sebagai bagian dari PKI). Sementara beberapa lainnya kemudian menyatakan ketidaksetujuannya pada anggapan tersebut. mereka menganggap bahwa permohonan maaf terhadap PKI itu tidak perlu sebab di mata mereka PKI tetap salah dengan segala macam ideologi yang dimiliki. Ketidaksetujuan inilah yang kemudian menghantarkan pada diangkatnya kembali Bung Karno yang ‘disiksa’ oleh oknum-oknum tertentu pada akhir hidupnya. Mereka yang menolak permintaan maaf terhadap korban G30S merasa bahwa permintaan maaf tersebut lebih cocok ditujukan pada Bung Karno menilik kondisi beliau saat itu.
Perbedaan pandangan inilah yang kemudian menurut Muzafer Sherif sebagai perbedaan penilaian dikarenakan aspek individu (ego, pengalaman, referensi) dikarenakan individu dengan segala macam konsepsi yang ada pada dirinya mengenai G30S dan Bung Karno, menyebabkan terjadinya perbedaan pandangan dan penilaian terkait dua kejadian tersebut yang mereka tuangkan ke dalam bentuk gerakan #MenolakBungkam.
Terlepas dari bagaimana individu memberikan respon terkait apa yang mereka pikirkan tentang fenomena tersebut, gerakan #MenolakBungkam itu sendiri sudah menjadi bukti bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang peduli terhadap sejarah bangsa Indonesia. Masyarakat berani berbicara melalui media (dalam hal ini media sosial) terkait apa yang mereka anggap benar sebagai bukti kepedulian terhadap sejarah yang sampai sekarang belum dapat dipastikan kebenarannya sebab bukti sejarah yang ada saat ini pun belum tentu merupakan fakta yang sebenarnya dari realita sejarah Indonesia.
Kondisi media saat ini yang memungkinkan masyarakat untuk melakukan penilaian terhadap realita apapun yang ia temui, tentunya harus menjadi perhatian bagi masyarakat itu sendiri. Sebagai masyarakat yang mengerti apa itu kebebasan berargumen, tentu harus memahami bagaimana cara berargumen yang baik di mata publik. Jangan sampai malah kebebasan itu disikapi dengan sebebas-bebasnya tanpa memperhatikan etika dan konsekuensi dari apa yang ia lakukan di jejaring sosial. Konsekuensi disini bukan untuk mengurung kembali individu ke dalam ketidak bebasan berpendapat, tetapi konsekuensi untuk bisa mempertanggung jawabkan pendapatnya secara bijaksana.