[caption id="attachment_76891" align="aligncenter" width="300" caption="hakim 'dimainkan' massa (google gambar)"][/caption]
..Karena kedapatan mencuri, seorang pengamen perempuan menjadi bulan-bulanan amuk warga setempat. Pengamen itu meronta-ronta menangis sambil membantah tidak mencuri uang tersebut. Tapi dari saku belakang celananya didapati uang hasil curian. Ditambah uang recehan berceceran yang berusaha dipungutnya. Masih juga menyangkal, emosi warga tak tertahan. Seseorang lelaki sampai menjambak rambutnya, sambil dengan emosi mengacungkan setampuk uang dan berteriak :”Ini apa? Masih coba kau menyangkal, haah !”
..Pengamen yang tangannya terborgol itu meronta-ronta histeris, tak terima diperlakukan serta dipermalukan seperti itu. Berhadapan dengan emosi warga yang merasa gondok dengan tingkahnya, sudah kedapatan dan terbukti mencuri, eh masih menyangkal dan melawan lagi.
..Jam dua dini hari di sini, dari gelisah tidak bisa tidur saya coba mencari kantuk dengan memainkan remote memilih dan memilah tayangan channel teve. Lantas terkesima dengan adegan tersebut di berita Metro TV lewat jam malam.
..Berbeda dengan reaksi massa, saya yang lagi berjarak dengan kejadian itu tercenung mengamati sepak ronta perempuan tertuduh tersebut. Menurut logika massa, karena sudah tertangkap basah seharusnya perempuan pencuri itu takluk dan diam saja diperlakukan sekasar apa.
..Ada rasa nyeri membayangkan, tidakkah tindakan mencurinya itu adalah satu sintesa keputusan dari akumulasi berbagai situasi penyebab, misalnya:ada kesempatan uang itu mudah diambil, kerjaan mengamen seharian tak membuahkan hasil, kesulitan hidup yang membelitnya, kebutuhan dadakan yang memaksanya harus mendapatkan uang sesegera mungkin.
..Ketika sial menyergap tindakan mencurinya, dia panik menghadapi serangan massa yang kasar menghakimi, lalu berusaha mencoba berkelit menyangkal. Kalau tindakan mencuri itu baru pertama kali dilakoninya, pupus sudah nama baiknya yang sebelum ini dijaga. Trauma malu nanti diarak ke kantor poisi, dan setelah itu beritanya menyeruak tersebar di seantero warga tetangga sekampung. Lalu dia harus menjalani nasib: sekali lancung mencuri, seumur hidup takkan dipercaya lagi. Sekali pun mau coba berbuat baik, jujur, dan benar; tak bakal dianggap lagi.
[caption id="attachment_76892" align="alignright" width="300" caption="tangan nasib yang terkapar (google gambar)"]
..Di keheningan malam ini, dari tempat dan posisi yang jauh dari alasan melakukan tindakan tak terpuji, yang boleh jadi terpaksa itu; sukma empati saya mengembara merasuk ke dalam jiwa dan sikon perempuan itu. Ngilu rasanya memaknai dan memahami itu semua, sebelum kembali ke raga dan posisi keberuntungan hidup saya.
..By : Rahayu Winnet, pukul 2 dini hari
..NB : ‘Realiksi’, realitas yang terjadi di sekitar kita atau di belahan lain dari kehidupan kita; lalu kita anggap ini hanya semacam cerita, lembaran episode derita hidup orang lain yang silakan berlalu, kita lewati atau setelah itu kita tutup.
..Mengkajinya dari perspektif saya, perlu sebuah kondisi(sistem)hidup dan kesadarannya membuat setiap orang mampu mendapatkan jalan dan cara yang baik dan benar dalam memenuhi dan menjawab kebutuhan dan tantangan hidupnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H