..Bicara cucakruwa kemarin kayaknya sulit dimengerti. Ada yang sampai baca empat kali tidak ngerti-ngerti, lalu bilang mau semedi dulu. Siapa tahu dapat wangsit biar dapat memahaminya, apa?
Haha, saya justru mau bilang: jangankan anda, atau siapa; saya sendiri malah tidak ngerti apa yang mau disampaikan oleh sicicakruwa dengan bicaranya tersebut. Lha mosok? Bukankah saya sendiri ‘sutradara’nya? Iya laah. Itu kan berarti saya coba menginstrospeksi diri sendiri dengan mencoba memposisikan diri dari kaca mata orang lain, bagaimana dan kenapa sampai tidak mengerti-ngerti bicaranya.
..Tapi setelah membaca lebih dari empat kali, minta komfirmasi dari cicakruwanya, saya perlu menterjemahkan dengan bahasa yang sedikit gamblang. Kira-kira seperti ini maksudnya.
..Jaga jarak dalam melihat suatu permasalahan atau memahani ketimpangan sebuah sistem adalah dengan maksud mengkritisi masalahnya seobyektif mungkin. Tidak terlalu dekat, karena sedemikian dekatnya kita jadi meraba masalahnya semacam meraba gajah dipelupuk mata. Tidak jelas seperti apa gajah itu. Juga tidak terlalu jauh, sedemikian jauhnya kita melihat gajah tadi tinggal semacam kuman di seberang lautan, mana kelihatan?
..Masuk ke dalam sebuah sistem dengan permasalahannya kadang mempersempit sebuah jarak dan merubah haluan kita dari tadinya bersikap obyektif perlahan menjadi subyektif. Berubah dari sebelumnya mengkritisi sekarang gantian dikritisi. Kita dari luar melihat sistemnya cenderung korup, setelah di dalam dengan maksud memperbaikinya; eh ikut-ikutan menjadi koruptor sekalian. Tidak semua memang, kan terpulang pada pribadi yang bersangkutan. Jadi kalau ada satu orang yang tidak ikut-ikutan hanyut seperti 99 orang lainnya, apa korupsinya tidak valid untuk dipersoalkan. Tidakkah satu itu tadi kasuistik, lalu yang 99 nya adalah sistemik hingga beralasan kritisi terhadap sistemnya perlu digencarkan.
..Berada di luar sistem juga tidak bagus-bagus amat. Hanya tidak mau tergelincir dalam kecenderungan sebuah sistem kita tidak mau ikut berpartispasi membenahinya dari dalam. Tapi apakah dengan begitu diri kita aman tidak terkontaminasi. Tidak jadi pelaku korupsi, memang! Lha tidak dalam kesempatan melakukannya apa yang mau dikorupsi? Tapi kepentingan kita masih tersangkut di situ, itu karena sumber daya kekayaan negeri kita diraup dan dikorup dalam ketidaksadaran dan ketidakperdulian kita.
..Kita memang tidak masuk ke dalam sistem yang korup itu, tapi sebenarnya kita berada dalam sebuah sistem yang lebih besar di mana dampak sistem yang korup tadi bersama kepentingan kita merupakan bagian yang tak terpisahkan di dalamnya.
..Jadi kesimpulannya kita jangan terlalu jauh sampai tidak memperdulikan ketimpangan sebuah sistem, juga jangan terlalu dekat sampai-sampai tidak menyadari diri kita sudah tergelincir di dalamnya. Ukurlah jarak itu pada posisi yang tepat antara tetap ada di dalam atau sewaktu-waktu bisa keluar ketika istiqomah kita tidak mempan lagi jadi senjata dan jaminan. Atau tetap ada di luar, tapi sewaktu-waktu hadir ketika diperlukan peran sertanya walau hanya sekedar ikut dalam unjuk rasa yang mempertanyakan ketidakadilan dari sebuah kebijakaan.
..Dan sicucakruwa mau enaknya saja. Bicaranya ngawur ke mana-mana tapi dirinya tidak mau ada di mana-mana sejauh yang dia omong. Pikirnya tanpa dia masuk, sistemnya toh tetap jalan. Sama halnya tanpa ikut memilih dalam pesta demokrasi, yang terpilih tetap seratus persen dari yang bersedia memilih. Lantas karena ingin melihat peta permasalahannya yang begitu kompleks di antara realitas permasalahan dan pesoalan lain, maka dia perlu menjaga jarak, sembari berkicau dari atas dahan sana. Katanya dia masih lebih baik dan komplet melihat sesuatu dari pada mereka yang telah menjadi batu karena ‘menyatu’ dalam sistem itu. Hahaha, dasar cucakruwa!
..By: Fajrin
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H