Mohon tunggu...
Di Timur Fajar
Di Timur Fajar Mohon Tunggu... -

Titip salam dari pemilik lapak ini: Aku andaikan mereka dan mereka andaikan aku. Cobalah berempati: merasakan berada pada posisi mereka, maka akan banyak yang bisa kita mengerti dan pahami tentang mereka, tentang kesalahan mereka. Karena kenyataan tidak pernah salah. Tuhan menghadiahi kita akal, bahwa ada kausalitas dalam setiap persoalan. Maka pandai-pandailah menguraikannya." (Rahayu Winette) Jadilah diri sendiri namun tak ada salahnya Anda(i) coba berempati dalam posisi orang lain. (Di Timur Fajar)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

135). Tanah Tumpah Konflik Saudaraku

20 April 2011   21:46 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:35 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13033358031120855386

[caption id="attachment_102034" align="aligncenter" width="300" caption="Wah salah ambil gambar rumah , nanti diganti /katanya lebih mewah lagi (google rumah rakyat)"][/caption]

. . Terjaga dini hari tadi, seperti biasa langkah saya langsung membuka cakrawala di alam maya kompasiana. Adakah yang bisa disikapi dengan tulisan dari sesuatu yang terpapar di situ. Dan terawangan sesal seorang teman menyeret empati saya untuk nimbrung dalam catatannya. . . "Ketika Tanah Kami Terbagi" membuat saya tersentuh karena prihatin persoalan yang sama sering menciderai persaudaraan dalam sebuah keluarga. Ada sesal yang terseok di tengah jalan kealpaan kenapa tidak mengusulkan tanah peninggalan orang tuanya diwakafkan jadi mushala, masjid, sekolah. Sebuah niat yang luhur memang. Itu pun kalau jadi gayung bersambut oleh pikiran yang sama dari saudara yang lain. . . Suatu yang ideal dan sangat membanggakan rasanya kalau kita tidak harus mewarisi harta peninggalan orang tua karena hal itu cuma membuat kita tinggal tahu terima. Tidak mencarinya dengan ikhtiar sendiri. . . Tapi menjadi sesuatu yang sangat disesalkan kalau selagi tidak berhasil menjadikan diri mandiri, harta yang ditinggalkan menjadi rebutan sesama saudara yang tak berkesudahan. Ada yang terciderakan dalam ketidakberdayaan mendapatkan haknya dari yang sudah terlanjur menguasainya. . . Pada saat yang tepat, membicarakan pembagian sesegera dan seadil mungkin perlu diupayakan sebelum semuanya berlalu dalam penyesalan dikarenakan kelalaian dan ketidakperdulian. Lalai ketika ada saudara yang diuntungkan dari faktor ruang(kedekatan) dan waktu(kebetulan) terlanjur mengangkangi kesempatan dan hak dari saudara yang lain. . . Ketakperdulian juga bisa menciderai pembagian. Itu kalau kita yang merasa sudah cukup dengan kemandirian kita lantas tidak melibatkan diri dalam menyelesaikan sebuah pembagian dalam keluarga. Mungkin kita tidak lagi butuh dengan bagian kita, tapi dengan keperdulian itu kita berusaha memecahkan dan mencari solusi pembagian yang terbaik. Bahkan dengan bagian yang tak kita ambil bisa menyempurnakan satu pembagian sampai pada titik yang melegakan. . . Karena banyak kasus yang terjadi. Selagi pembagian tidak menjadi sesuatu yang dianggap penting; kelalaian yang berlarut-larut ibarat memelihara bom waktu yang kapan saja bisa meledakkan pertikaian dan mencerai-beraikan hubungan sesama saudara. Persaudaraan yang berusaha dijaga dengan cara yang semu. Ada sesuatu yang perlu dibicarakan, kita terlalu menjaganya dari kemungkinan yang bisa tidak mengenakkan. Tidak enak karena belum kering basah tanah merah kubur orang tua kita, warisan peninggalan mereka sudah mau dipersoalkan. Atau tidak nyaman karena ada yang nanti terusik karena telah mengambil bagian lebih banyak, lebih dulu, dan telah pilih bulu. . . Membicarakan pembagian lebih awal selagi semuanya masih berkumpul dalam perhelatan tradisi 'kepergian', adalah memberikan kesempatan saudara yang dekat tinggalnya sudah bisa menggunakan bagian warisannya, sementara yang tinggal jauh dan kan pulang berlayar tahu apa dan mana yang jadi bagiannya. Betapa tidak, kesaksian dalam kesepakatan yang terbaik bisa menjaga ukhuwah persaudaraan. Lebih bijak lagi kalau disaksikan keluarga besar, diperkuat hitam diatas putih di hadapan sesepuh dan aparat pemerintah setempat. . . Memang tidak tertutup kemungkinan bahwa dengan harta yang ditinggalkan itu, mau kita wakafkan sebagai amal jariah yang takkan habis masa pakai pahalanya  bagi kedua orang tua kita di alam baka sana. Atau dengan rumah peninggalan satu-satunya, tidak kita jual tapi jadikan sebagai rumah gadang tempat kita melatih kebersamaan. Sewaktu-waktu atau kapan saja singgah bersama di situ, bernostalgia menapaktilasi semua kenangan masa kecil kita yang pernah ada di sana. Hiks, hiks. . . By : Fajrin

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun