. . . . Saya bicara apa kemarin? Rasanya sebuah batu besar, yang oleh sebagian orang barangkali sulit dipahami. Jangankan anda, saya sendiri kadang jadi tidak mengerti apa yang sudah saya bicarakan.. Apa karena diri ini juga tidak pernah bisa melompati batu itu, menyingkirkan atau memecahkannya?
. . . . Saya coba merenungkannya sekali lagi.
. . . . BATU BESAR, sebuah perumpamaan tentang kesulitan hidup yang tengah kita hadapi dan mendera bangsa ini. Begitu besar, menyatu dari berbagai bentuk: mahalnya biaya pendidikan, naiknya harga barang dan kebutuhan hidup, langkanya bahan bakar masak(raibnya minyak tanah dan rawannya gas elpiji), sulitnya mendapatkan lapangan kerja, nelangsa pilunya mencari keadilan, dll, dlsb. Semua menggumpal jadi satu, bak bola salju menggelinding ke arah kita selagi kita tak punya kemampuan berkelit dilewatinya. Ibarat batu besar yang menghadang jalan kita, sedemikian besar sampai tak ada celah untuk mengitarinya, jadi harus melompat kalau tidak mampu memecahkannya.
. . . . Tidak semua orang mampu untuk itu, bahkan ada sebagian lagi yang tidak menyadarinya. Boleh jadi karena mereka sendiri yang menggumpalkan batu itu karena sudah berada di sebelahnya(punggawa dan penyalahguna kekuasaan). Ada yang asyik dengan kemampuan daya belinya sehingga tak mau tahu(*). Ada yang menepuk dada karena mampu dan trampil(pelompat dan pejantan tangguh). Ada yang masih tengah digodok dalam padepokan lembaga pendidikan yang terbaik dengan kelas berstandar internasional, dengan semuaperangkat sistem dan fasilitas yang canggih dan modern.
. . . . Ibarat pendekar yang tengah digembleng, sayangnya tidak pernah sekali sekali turun gunung menyikapi kemelut hidup di tengah kancah rimba persoalan. Kalaupun mereka selesai dari perguruan ‘kesaktian’ hidup itu, mereka hanya menjadi pendekar tanpa tanding bagi dirinya sendiri, keluarganya, atau semua yang masih famili dengan kepentingannya.
. . . . Tidakkah dengan apa yang kita bisa dan punya, sekecil apa itu; selalu berorientasi pada perbaikan sistem, dengan itu semua orang kita berdayakan.
. . . . -Misalnya kita ulet mencari uang, karena kesulitan finansial itu pernah membuat kita tidak bisa apa-apa. Tidakkah kita mencari secukupnya, sebagian untuk kebutuhan kita, sebagian lagi disisihkan untuk perbaikan sistem usaha bersama (menciptakan lapangan dan peluang kerja ). Karena kalau sudah berlebihan akan membuat kita lupa diri tujuh turunan(tidak habis dimakan). Juga terlalu asyik(workholic) akan membuat kita memasabodokan aspek hidup lain.
. . . . -Kalau misalnya kita berkeras masuk ke dalam sistem pemerintahan dan mendapatkan segengam kekuasaan di sana, hanya karena pernah selagi di luar kita dengan sekeranjang kebenaran(idealisme) sulit mewujudkannya. Tidakkah dengan kesempatan ini kita berusaha amanah terus, dan bukan lupa diri karena dimabuk kepayang kekuasaan.
. . . . -Andai pula kita bisa masuk ke dalam sistem peradilan, di sana mau membenahi hukum karena pernah dipecundangi rasa keadilan kita(diperlakukan tidak adil), mampukan selagi ada di sana kita bisa menegakkan keadilan dan bukan menjadi bagian dari mafia pengadilan.
. . . . Jadi, apa ya? Ah, sudahlah. Kesimpulannya(biarin tidak nyambung), kita tidak harus jadi pelompat tangguh, batu besar itu kita pecahkan untuk melempangkan jalan untuk banyak orang. Gitu aja kok repot. (Tidak tahu harus menulis apa lagi, nanti disambung. Menjelang pagi, keriuhan hidup awal di luar mebuat saya tidak konsentrasi lagi). Pokoknya sebuah tulisan telah hadir.
. . . . Wassalam !
. . . . By : Rahayu Winnet, 06.20 pagi, 17 Juli 2010.-
. . . . (*) Teman kuliah saya yang sekarang lagi berpacu dengan kebesaran usahanya, dengan itu berpikir setiap kesulitan hidup bisa dibelinya (apa dibayar ya?). Coba tanyakan ke dia apa itu politik, dia tidak tahu dan tidak mau tahu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H