Mohon tunggu...
Di Timur Fajar
Di Timur Fajar Mohon Tunggu... -

Titip salam dari pemilik lapak ini: Aku andaikan mereka dan mereka andaikan aku. Cobalah berempati: merasakan berada pada posisi mereka, maka akan banyak yang bisa kita mengerti dan pahami tentang mereka, tentang kesalahan mereka. Karena kenyataan tidak pernah salah. Tuhan menghadiahi kita akal, bahwa ada kausalitas dalam setiap persoalan. Maka pandai-pandailah menguraikannya." (Rahayu Winette) Jadilah diri sendiri namun tak ada salahnya Anda(i) coba berempati dalam posisi orang lain. (Di Timur Fajar)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

243). Pendidikan Kita Adalah Pendidikan Kesulitan Maka judul keprihatinan ini: "PENDIDIKAN KESULITAN DI NEGERI INI"

20 Desember 2012   20:30 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:17 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Belum lagi selesai menyikapi sebuah kesulitan, saya dibangunkan di tengah malam oleh realitas kesulitan Rey saya dalam menyikapi persoalan pendidikan sekolahnya. Nyenyak tidur saya yang tidak seberapa terusik sudah oleh bunyi printer computer Dea yang lagi merampungkan tugas sekolah adiknya itu. Oleh frekwensi keluaran lembaran kerja yang begitu banyak dan lama, saya menggeliat bangun dan mencari tahu dari dekat tugas sekolah macam apa sampai harus lembur sudah jam satu dini hari ini dan belum juga selesai. Bukan lagi kelainan printer yang loadingnya selembar satu menitnya yang bikin lama, tugas karya ilmiah itu mensyaratkan minimal 60 lembar halaman perampungannya. Ini juga sudah perbaikan yang kedua kali.

Saya jadi membayangkan seperti apa tugas berdurasi lama dan berbiaya tidak sedikit ini dilakoni temannya, anak tetangga sebelah yang sudah sulit ekonominya, juga tidak memiliki computer dan fasilitas internet. Dalam perhitungan Dea, dengan jumlah halaman sebanyak itu, dengan meminta bantuan orang lain mengetiknya, kerja lembaran sekolah itu harus mengeluarkan uang lebih dari seratus ribu rupiah, ditambah biaya mengakses materinya dari warnet dan transportasi bolak balik ke teman kerja kelompok dan tempat jasa pengetikan. .   .  Terus apa yang didapat dari karya ilmiah setara tugas kuliah mahasiswa tersebut? Adakah subtansi yang bisa diambil di dalamnya? Tak sadar saya sudah tengah menguliti lembar demi lembar dan tertarik dengan topic bahasannya: “Pilkada Dan Kampanye Rawan Pelanggaran”. Dari tertarik oleh menariknya topic tersebut yang korelatif dengan situasi yang tengah berjalan di alam demokrasi di negeri ini, menarik bagi saya membayangkan sejauh mana materi tugas (formalitas?) ini menyentuh kebutuhan belajar dan nalar anak didik kita? Mampukah mereka yang baru semester tiga SMA mencernai realitas politik demokrasi semacam itu, yang oleh kita para punggawa persoalan tidak tuntas-tuntasnya menyikapi permasalahannya. .   . Lalu yang saya perhatikan penyusunan materinya dilakukan dengan mencopas bagian demi bagian diambil dari tugas serupa yang sudah terdapat di sumber pustaka internet. Entah yang jadi focus tujuan pengajarannya adalah bagaimana siswa bisa ulet dan mampu menyusun tugas karya ilmiahnya, ataukah diharapkan sekalian bisa mencerna isinya dengan baik?

.   . Berangkat dari gambaran tersebut, kesadaran untuk menyikapi itu coba saya tarik mumbul ke atas pada jarak skope yang terukur biar memahami persoalannya secara holistic. Seperti berikut ini penilaian (menurut) saya: Adakah kita sebagai subyek pendidikan di negeri ini mampu melihat sejauhmana validnya semua pengajaran yang kita ‘kembangkan’ di bangku sekolah pendidikan kita, dalam artian benar-benar sudah memberikan nilai tambah bagi kehidupan anak didik kita? Apa yang jadi indikatornya? Adakah rata-rata anak didik kita berubah secara signifikan menjadi lebih baik aspek kognitif, afektif, dan psikomotornya? Bukan dengan menunjukkan ‘sample’ ada satu dua atau sedikit anak yang sukses dari begitu banyak teman-temannya yang tidak terjamah membaik. Kalau pun ada perubahan, sejauhmana itu bisa membuat anak didik kita mampu menyikapi kekinian persoalan hidupnya? Ataukah mereka terasing dari semua pelajaran yang mereka terima di sekolah kalau sebagian besar materinya tidak berpijak membumi di sekitar mereka, di keseharian mereka?

13560353401765417372
13560353401765417372

.   . Sebuah tugas dari kelas pengajaran memang diperlukan untuk menambah wawasan sekaligus menguji tambah keuletan anak didik. Tapi tidak serta merta selesai dari pemberian sebuah tugas, guru lantas balik belakang. Serahkan semuanya dan jadi seperti apa anak berkutat merampungkannya itu tidak dimonitoring dengan baik. Bahkan boleh jadi mereka merekayasa tugas belajar itu, dengan: hanya satu dua anak yang aktif dalam kelompok tugas, atau itu disewakan orang lain yang mengerjakannya, semua itu tidak terpantau oleh guru. Terkadang itu disebabkan oleh karena siswa tidak mendapatkan panduan menyusun tugas itu dengan baik sebelumnya. Belum lagi sesama pengajar bisa saja serabutan memberikan tugas, tanpa berkoordinasi satu sama lain; adakah tugas keluar membludak bersamaan. Misalnya hampir banyak guru serentak memberikan tugas, lantas itu tidak proporsional dengan kemampuan siswa mengerjakannya. .   . Pendidikan kita adalah pendidikan kesulitan, itu yang tengah saya rasakan, dan mari kita rasakan bersama. Karena belajar di sekolah bukan lagi sesuatu yang menyenangkan untuk didatangi oleh anak kita dari rumah. Setelah mereka duduk di bangku kelas sana, yang terpikir di benak mereka kapan jam usai sekolah segera saja berdentang dan sorak sorailah pertandanya. Betapa selama ini kita begitu tega sudah memaksa mereka ‘wajib belajar’ ada di dalam sana, terperangkap oleh target-target formalitas di dalamnya. .   . Terusss…? Apa lagi? Ah, telmi saya kambuh. Setidaknya ini pertanda isyarat bagi kita semua untuk bersinergi di dalam persoalan ini, saling mengisi, saling melengkapi.Dan uneg-uneg keprihatinan ini tidak bermaksud mendikte atau menyalahkan pihak yang ‘salah’ karena tidak berperan dengan baik dalam persoalan ini. Karena bagi saya kenyataan tidak pernah salah, ada kausalitas yang perlu kita urai dari persoala ini. Salahnya hanya secara tidak memenuhi harapan yang kita inginkan akan pendidikan yang baik. Lalu salahnya adalah tanggung jawab yang perlu kita pikul bersama untuk mencarikan jalan keluarnya. .   . Betapa pun guru, andaikan bisa menyadari kekurangan yang timbul di dalamnya, sangatlah manusiawi kalau terlanjur memerankannya. Karena mereka terlalu dekat di situ. Sedemikian dekatnya sehingga tidak cermat mematuti kekurangannya dengan baik, Maka jadi peran kita yang ada di luar menginformasikan kekurangan itu dengan santun. Dengan cara perlu pendekatan ke sana. Sementara saya yang datang juga dari luar, tapi merasa sebagai bagian dari system persoalan ini, betapa ingin menyadari penilaian ini jauh dari proporsional, olehnya berharap saran dan pemikiran bersama untuk menyempurnakannya.

Wassalam – Di Timur Fajar.

Sumber gambar: http://1.bp.blogspot.com/_3cWNg_3m2h8/Sh_JQS0W1KI/AAAAAAAAABI/hbfSqJU49N0/s400/lecture.jpg http://marketplusmagz.com/wp-content/uploads/2012/11/angry_kid.jpg

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun