[caption id="attachment_104147" align="aligncenter" width="300" caption="Betapa sebeda ini (google gambar)"][/caption]
..Mungkin kita sering mendengar adagium(?): “Di belakang seorang suami/bapak yang sukses, ada seorang istri/ibu yang baik”, demikian juga sebaliknya. Untuk kebalikannya, silakan teman saya Ibu Dosen buat pernyataannya. Misalnya, di belakang seorang ibu dosen yang cerdas tersedia bapak(dosen?) yang mengsuport kecerdasannya.
..Kebetulan seorang bapak, saya lanjut dengan esay saya.
..Dengan adagium di atas lalu muntahlah beberapa tema. Peranan ibu dalam menunjang karir seorang bapak, peranan seorang istri mendorong keberhasilan sang suami, peranan istri yang lain mendorong suaminya, istri-istri yang lain lagi denganbla-bla-blanya.
..Yang jadi pertanyaan, coba kalau di belakang bokong bapak/suami tadi, tidak tersedia wanita yang dimaksud. Seperti apa ya sukses seorang suami? Apakah dia tidak akan jadi apa-apa? Atau harus mencari ganti wanita lain yang tepat untuk posisi itu?
..Saya tidak mau macem-macem dengan urusan gonta ganti pasangan buat dicobakan dalam posisi tersebut. Saya coba istiqomah dengan satu macam saja. Coba berempati: seandainya kita ketiadaan pasangan yang tepat untuk pikiran-pikiran terbaik kita. Sejauh mana kita bisa eksis dengan apa yang kita pikir baik, mengejawantahkannya, dan jadi tempat berpijak bagi pola pikir dan karya nyata berikutnya.
..Dalam komitmen hidup berumah tangga, kita tidak cuma sekedar memenuhihasrat biologis, atau menggenapkan tulang iga satu yang lagi kebawa-bawa oleh yang lain untuk kembali dipasangkan(kisah Adam dan Hawa). Urusannya lebih dari itu, dan ini justru lebih penting. Setelah bersatu, kita harus menyelaraskan segenap perbedaan yang ada. Dari dua insan yang berbeda pembawaan dan latar belakangnya, diserasikan untuk tujuan hidup bersama. Tidak harus sama memang. Dalam berbeda yang dibutuhkan kesearahan pencapaian tujuan hidup bersama. Berbeda cara tak apa kalau saling melengkapi, tidak sampai bertolak belakang. Satu di kamar depan, yang lain nyungsep di kamar belakang.
..Kenyataan hidup berumah tangga kerap berbicara lain. Maaf, untuk pasangan yang sudah serasi kebersamaannya, duduk saja yang manis menyimak fakta ini. Kadang hidup tidak memenuhi harapan untuk semua hal yang kita dambakan. Maksud hati memeluk gunung apa daya gunungnya terbelah. Kita dengan pikiran dan cara di belahan yang yang satu, pasangan kita dengan caranya di belahan yang lain. Nggak ketemu dong. Gunungnya mau kita daki, lembah itu mau kita seberangi; sayang tak satu lagi kita menapakinya, hiks, hiks. Lelah sudah hati ini, tak jua menyatu. Itu syair punya siapa ya? Coba ingat, kalau lupa itu ‘Tirai’ yang dilantunkan Rafika Duri.
..Pikiran dan cara kita mungkin berbeda satu dengan lainnya. Bisa coba dikompromikan: pikiran dan cara mana yang lebih baik untuk dikedepankan. Lagi-lagi menurut saya tak jadi soal pikiran yang itu datangnya dari siapa. Terutama buat dipakai menyikapi anak-anak, agar tidak sampai kejadian ada anak papi dan anak mami. Kalau anaknya sempat baik, berebut anggap itu anak saya, tapi kalau perangai anak kadung jelek lalu saling menuding: “tuh anak kamu…!”.
. . . . . . . . . .
..Rey sudah pulang kemarin sore. Selesai sudah pendidikan Tsanawiyahnya di pesantren sana. Entah mau lanjut di mana, setelah dia tak hendak lagi meneruskan Aliyahnya di situ.
..Tadi malam, saya diam-diam memperhatikan Yunus temannya yang singgah dua hari sebelumnya di rumah, sebelum melanjutkan pulang ke kampung halamannya nun jauh di lereng bukit sana. Dia anak asuh seorang habib yang disekolahkan sepesantren dengan Rey. Bedanya dia baru saja menyelesaikan Aliyahnya di situ.
..Apa yang saya perhatikan dengan Yunus, teman Rey itu? Dia sedang melipat pakaian celana dan kemejanya. Tapi dengan cara yang berbeda. Bedanya, sembari melipat dia mengusap-ngusap permukaan kemejanya dengan telapak tangannya. O begini ya apa yang pernah saya dengar, teman-temannya mengamini cara dia menyeterika satu-satu pakaiannya. Nggak pake seterikaan. Tapi mulusnya seperti diseterika benaran. Terlipat licin dan apik. Seterika alam, katanya.
..Kerap saya membayangkan hidup ini dengan caranya yang gampang. Sealamiah dan segampang dia membalikkan telapak tangan, menyeterika sendiri baju kehidupannya. Seulet tangan dia mencuci dan mengucek sendiri pakaiannya. Sepedekate dia mencari tambah makan dengan bantu-bantu di dapur pesantren.
..Ah, andai saja selama ini Rey bisa melakoni hidup seperti itu di pesantren. Dia pernah bilang ke saya mau mencuci dan menyeterika sendiri pakaiannya, biar sewaannya ke tukang binatu mau dia miliki nambah-nambah tabungannya. Sayang ada cara yang berbeda. Sudah datang dengan ransum seminggu sekali, Rey masih diasupin dengan menu tambahan berlangganan, sementara jatah makanan dari dapur pesanteren terpinggirkan.
. .Betapa cara yang baik dipinggirkan. Tergeser oleh kasih sayang tanpa sadar, tanpa makna. Hiks, hiks.
..By : Di Timur Fajar, tuh fajar mulai menyingsing. Saya harus nyungsep dulu di balik bantul guling setelah sejak dini hari mengulek tulisan ini.
..NB: Jangan salah, pada point awal tentang tema di mana peranan istri yang lain dalam mendorong suaminya di atas; maksud saya bukan istri yang lain mendorong suaminya. Tapi suami yang dimaksud didorong istrinya itu. Ya istrinya, jangan tambah salah lagi; ntar dianggap istri orang lain. Wah, gawat! Kenapa jadi ngaco begini? Ah diperbaiki saja kalimatnya, saya memang telmi. Bicara saya sih tergantung baik buruknya pikiran anda. Hehehe.
(Wah, catatan ini jadi telat tayangannya oleh lambatnya koneksi modem)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H