[caption id="attachment_102034" align="aligncenter" width="300" caption="Wah salah ambil gambar rumah , nanti diganti /katanya lebih mewah lagi (google rumah rakyat)"][/caption]
. . Terjaga dini hari tadi, seperti biasa langkah saya langsung membuka cakrawala di alam maya kompasiana. Adakah yang bisa disikapi dengan tulisan dari sesuatu yang terpapar di situ. Dan terawangan sesal seorang teman menyeret empati saya untuk nimbrung dalam catatannya. . . "Ketika Tanah Kami Terbagi" membuat saya tersentuh karena prihatin persoalan yang sama sering menciderai persaudaraan dalam sebuah keluarga. Ada sesal yang terseok di tengah jalan kealpaan kenapa tidak mengusulkan tanah peninggalan orang tuanya diwakafkan jadi mushala, masjid, sekolah. Sebuah niat yang luhur memang. Itu pun kalau jadi gayung bersambut oleh pikiran yang sama dari saudara yang lain. . . Suatu yang ideal dan sangat membanggakan rasanya kalau kita tidak harus mewarisi harta peninggalan orang tua karena hal itu cuma membuat kita tinggal tahu terima. Tidak mencarinya dengan ikhtiar sendiri. . . Tapi menjadi sesuatu yang sangat disesalkan kalau selagi tidak berhasil menjadikan diri mandiri, harta yang ditinggalkan menjadi rebutan sesama saudara yang tak berkesudahan. Ada yang terciderakan dalam ketidakberdayaan mendapatkan haknya dari yang sudah terlanjur menguasainya. . . Pada saat yang tepat, membicarakan pembagian sesegera dan seadil mungkin perlu diupayakan sebelum semuanya berlalu dalam penyesalan dikarenakan kelalaian dan ketidakperdulian. Lalai ketika ada saudara yang diuntungkan dari faktor ruang(kedekatan) dan waktu(kebetulan) terlanjur mengangkangi kesempatan dan hak dari saudara yang lain. . . Ketakperdulian juga bisa menciderai pembagian. Itu kalau kita yang merasa sudah cukup dengan kemandirian kita lantas tidak melibatkan diri dalam menyelesaikan sebuah pembagian dalam keluarga. Mungkin kita tidak lagi butuh dengan bagian kita, tapi dengan keperdulian itu kita berusaha memecahkan dan mencari solusi pembagian yang terbaik. Bahkan dengan bagian yang tak kita ambil bisa menyempurnakan satu pembagian sampai pada titik yang melegakan. . . Karena banyak kasus yang terjadi. Selagi pembagian tidak menjadi sesuatu yang dianggap penting; kelalaian yang berlarut-larut ibarat memelihara bom waktu yang kapan saja bisa meledakkan pertikaian dan mencerai-beraikan hubungan sesama saudara. Persaudaraan yang berusaha dijaga dengan cara yang semu. Ada sesuatu yang perlu dibicarakan, kita terlalu menjaganya dari kemungkinan yang bisa tidak mengenakkan. Tidak enak karena belum kering basah tanah merah kubur orang tua kita, warisan peninggalan mereka sudah mau dipersoalkan. Atau tidak nyaman karena ada yang nanti terusik karena telah mengambil bagian lebih banyak, lebih dulu, dan telah pilih bulu. . . Membicarakan pembagian lebih awal selagi semuanya masih berkumpul dalam perhelatan tradisi 'kepergian', adalah memberikan kesempatan saudara yang dekat tinggalnya sudah bisa menggunakan bagian warisannya, sementara yang tinggal jauh dan kan pulang berlayar tahu apa dan mana yang jadi bagiannya. Betapa tidak, kesaksian dalam kesepakatan yang terbaik bisa menjaga ukhuwah persaudaraan. Lebih bijak lagi kalau disaksikan keluarga besar, diperkuat hitam diatas putih di hadapan sesepuh dan aparat pemerintah setempat. . . Memang tidak tertutup kemungkinan bahwa dengan harta yang ditinggalkan itu, mau kita wakafkan sebagai amal jariah yang takkan habis masa pakai pahalanya bagi kedua orang tua kita di alam baka sana. Atau dengan rumah peninggalan satu-satunya, tidak kita jual tapi jadikan sebagai rumah gadang tempat kita melatih kebersamaan. Sewaktu-waktu atau kapan saja singgah bersama di situ, bernostalgia menapaktilasi semua kenangan masa kecil kita yang pernah ada di sana. Hiks, hiks. . . By : Fajrin
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H