Jam sudah menjuk pukul 21.37 wita ketika saya keluar dari sebuah teater di salah satu mall di Makassar. Perut sedikit berbunyi meminta diisi sesuatu. Sebelum keparkiran motor yang ada disebrang jalan, ku sempatkan diri mengocek kantong celana mengambil sebungkus rokok dan korek.
Sambil mengisap, pikiran terus mengulang dan memaknai film yang baru saja saya tonton. Dengan menghirup napas sedikit dalam, dan batang rokok sudah menghampiri batas akhir, ku kuatkan hati menuju parkiran dan melaju menyusuri malam yang masih ramai.
Setelah keliling mencari tempat makan, akhirnya pilihan jatuh disalah satu sudut jalan yang berjarak 500 meter dari mall tempat nonton tadi.
Setelah memesan bihun goreng, rokok kembali keambil sambil menunggu. Di tempat itu hanya ada satu meja dengan banyak kursi. Sudah ada empat orang yang duduk disana ketika saya masuk, masing-masing duduk berjejer menghadap gerobak yang terang dengan lampu neon.
Disaat yang bersamaan saya masuk, seorang pemuda juga duduk disamping ku dengan tindik di teliga kanan dan kirinya. Tak cuma itu, jari-jarinya pun berwarna hitam dan dilengkapi dengan bibir mata yang juga hitam.
Belum lengkap kalau dia tak memakai celana yang mencekik mata kaki yang dipadukan denga warna serba hitam pula. Ditangannya sempat saya lirik tertulis Edi yang tepat dibawah telapak tangannya, tepintas nampaknya itu permanen.
Tak hiraukan dia. Kini mataku menatap empat orang yang ada didepan ku. Masih sambil menghisap sebatang rokok, keperhatikan dua orang disebelah kiriku. Kedua orang ini bukan orang Makassar. Bahasanya mengindentifikasi dia dari pulau Jawa, lebih tepatnya Jakarta.
Tidak banyak cerita dari mereka yang bisa saya simpulkan. Anggapan saya mereka pebisnis atau sedang bekerja disatu perusahaan tentang penjual beliaan sesuatu. Umur mereka yang rata-rata sudah berkepala tiga menambah yakin diriku, meraka orang sibuk.
Kini giliran dua orang disebelah kanan ku. Sejak masuk tadi, mereka asik bercerita. Mula-mula pemuda yang pas ada didepan ku, menerima telepon dan berbicara dalam bahasa bugis soppeng, satunya lagi asik dengan blackberry dibubuhi cengiran-cengiran ringan dipipinya.
Setelah menerima telepon, mereka saling cerita. Ku curiga meraka sepasang teman atau kekasih terlarang. Pasalnya, bahan cerita mereka melulu tentang cowo yang ia kenal lewat blackberry masengger. Bahkan bawa-bawa kata perjaka tinting dalam membalas pesan dari Erik yang ia sebut dari Bandung.
Keasikan meraka dalam bercerita makin menguatkan pikiranku mereka membahas masalah kelaki-lakian. Tidak ada rasa malu bagi mereka, walau sudah berapa mata yang menyorotnya, tetap saja pembahasan yang senonoh tidak membuatnya terdiam.