Terkadang, saya berpikir bahwa komitmen nasional terhadap kemajuan transportasi publik akan terwujud jika para pejabat negara tidak lagi mendapatkan fasilitas patrol dan pengawalan (Patwal) atau sejenisnya.
Pemikiran ini bukan didorong karena persoalan iri apalagi dengki. Termasuk, bukan karena kasus arogansi patwal RI 36. Pemikiran ini jauh melebihi itu semua.
Saya dan mungkin sebagian kompasianer kadang jengkel melihat polah iring-iringan patwal di tengah kemacetan dan cuaca yang tidak bersahabat buat pengendara sepeda motor.
Saya sangat mafhum, fasilitas patwal bagi pejabat tinggi negara, seperti menteri, wakil menteri, dan pejabat setingkat lainnya, telah menjadi praktik standar di banyak negara, termasuk Indonesia.
Namun, seiring dengan berkembangnya dinamika sosial, politik, dan teknologi, perlunya efisiensi dalam pengelolaan fasilitas pengawalan ini menjadi semakin relevan.
Efisiensi dalam pengelolaan fasilitas patwal buat pejabat bukan hanya menyangkut aspek ekonomi, tetapi juga mencakup penggunaan sumber daya negara secara lebih bijaksana.
Sepertinya saya sepakat dengan pernyataan Djoko Setijowarno dari Mayarakat Transportasi Indonesia (MTI) bahwa fasilitas patwal untuk pejabat semestinya hanya diberikan kepada Presiden dan Wakil Presiden.
Perubahan Pola Ancaman terhadap Pejabat Negara
Di beberapa negara maju, kecuali wilayah konflik, pengawalan terhadap pejabat tinggi negara biasanya lebih terbatas dan difokuskan pada situasi tertentu yang dianggap krisis atau darurat.
Negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris, atau Australia, lebih mengedepankan pengamanan berbasis analisis risiko dan menggunakan teknologi untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengamanan pejabat negara.