Bagian 5: The Asian Way, Upaya Pembebasan dari Oligarki Global dan Menjadi Bangsa yang Mandiri
Prabowo Subianto menyampaikan pidato kuat dan bersejarah 3 tahun yang lalu, tepatnya pada 10 Juni 2022 di hadapan pejabat senior dunia dalam forum International Institute for Strategic Studies (IISS) Shangri-La Dialogue 2022 dengan tajuk yang cukup mentereng, "Mengelola Persaingan Geopolitik di Kawasan Multipolar."
Saya kutip isi pidato Prabowo:
"Apa yang diajarkan situasi di Ukraina kepada kita adalah bahwa kami tidak akan pernah bisa mengabaikan keamanan dan kemerdekaan kami begitu saja. Oleh karena itu, kami bertekad untuk memperkuat pertahanan kami dan ini adalah kunci. Pandangan kami adalah pandangan defensif. Kami telah menyatakan bahwa kami akan mempertahankan wilayah kami dengan segala cara yang kami miliki."
Dalam kutipan pidato tersebut, Prabowo Subianto sesungguhnya sedang menegaskan bahwa negara-negara di Asia termasuk Indonesia, perlu belajar dari situasi yang terjadi di Ukraina.
Bagaimana proses terjadinya suatu perang, apa alasan yang melatar belakangi peristiwa itu, apa faktor-faktor yang menggerakan, negara-negara mana saja yang ikut campur, dan banyak lagi dimensi lainnya yang harus dipelajari.
"Si vis pacem, para bellum." Jika diterjemahkan menjadi, "Jika kau mendambakan perdamaian, bersiap-siaplah menghadapi perang."
Peribahasa Latin itu sejalan dengan prinsip perjuangan Indonesia di level global, "politik luar negeri yang bebas aktif."
Kehendak untuk membangun perdamaian dunia tentu harus dibarengi dengan kesiapsiagaan dan kewaspadaan secara menyeluruh namun tetap berupaya membuka seluas-luasnya kerja sama kepada semua bangsa-bangsa.
Pandangan tersebut sangat tepat di sebuah era seperti saat ini. Perkembangan teknologi tempur yang terus meningkat secara dinamis. Disrupsi disegala lini. Ketimpangan pendapatan dan kekayaan global. Tingkat kemiskinan tak terkendali. Perebutan sumber daya alam.