Sungai Nil, Piramida, Cleopatra, Anubis, Firaun, Mumi, begitulah yang ada di dalam pikiran saya saat menulis artikel tentang Mesir. Singkatnya, mitologi Dewa Dewi menjadi sangat dominan mempengaruhi persepsi saya. Mungkin isi kepala saya sudah terlanjur dimanjakan oleh propaganda Hollywood.
Padahal, Mesir sebagai negeri bersejarah menawarkan pelajaran berharga tentang ketahanan budaya dan inovasi manusia. Dari piramida megah hingga sistem pemerintahan yang kompleks. Dari teknologi, teknik pengobatan, matematika, bahkan bangsa Mesir kuno juga diketahui menciptakan alfabet dan sistem desimal mereka sendiri.
Kekuasaan firaun secara resmi berakhir pada tahun 31 SM ketika Kekaisaran Romawi menaklukkan Mesir. Meskipun mengalami perubahan politik yang signifikan, warisan budaya Mesir Kuno terus mempengaruhi dunia hingga hari ini. Keberlanjutan warisan ini mencerminkan kekuatan budaya yang mampu bertahan meskipun melalui berbagai tantangan zaman.
Dunia sudah berganti rupa. Perang membawa penderitaan. Bangsa-bangsa muslim hidup dalam gelombang perubahan yang penuh dengan ketidakpastian. Krisis pangan, air, energi, perubahan iklim, mendesak semua bangsa untuk membangun format baru kerja sama yang lebih adil di atas pondasi persatuan yang konkret. Peran para tokoh bangsa sangat dinantikan demi terwujudnya dunia yang damai dan berkeadilan.
Para Penyeru Persatuan Kekuatan Islam
Dunia mengenal seorang Rifa'ah al-Tahtawi (1801-1873) sebagai salah satu tokoh terkemuka dalam pembaru pemikiran Islam di Mesir. Rifa'ah terkenal dengan gagasan patriotisme tanah airnya. Dia paling bersemangat memperjuangkan hak perempuan atas pendidikan.
Tahtawi tidak sendirian. Nama Jamal al-Din al-Afghani (1838-1897), meskipun bukan asli Mesir, al-Afghani berkontribusi besar terhadap gerakan pan-Islamisme dan nasionalisme Arab. Ia menekankan pentingnya kesatuan umat Islam sebagai respons terhadap dominasi Barat. Arabi Pasha (1841-1911), penentang paling keras terhadap intervensi asing di Mesir. Ia memimpin pemberontakan melawan Inggris pada tahun 1882 dan menjadi simbol perlawanan terhadap kolonialisme.
Nama lain yang mengemuka, sebut saja Saad Zaghlul (1859-1927), Muhammad Ali Pasha (1769-1849), hingga Gamal Abdel Nasser (1918-1970) pemimpin Revolusi Mesir 1952 yang menggulingkan monarki. Bersama Soekarno membangun Gerakan Non-Blok. Ia juga dikenal karena gagasannya tentang Nasionalisme Arab, yang menekankan persatuan bangsa Arab dalam satu wadah politik dan ekonomi.
Di bawah kepemimpinannya, Mesir dijuluki Republik Persatuan Arab, dan ia berupaya untuk menghapus pengaruh kolonial Eropa di Timur Tengah, serta mempromosikan sosialisme Arab sebagai cara untuk mencapai kesejahteraan sosial bagi rakyatnya.
Prabowo Sebagai Pelanjut Semangat Persatuan