Namanya Yusuf Saefuloh. Dia sering dipanggil Yusuf. Seorang anak laki-laki berusia 12 tahun. Dia masih duduk di kelas 6 sekolah dasar. Di sekolahnya Yusuf sangat disenangi teman-temannya. Selain pandai, dia anak yang baik. Tingkah laku dan budi bahasanya sopan. Tidak heran bila para guru bahkan kepala sekolah pun menyenanginya.
Yusuf sekolah di SD Negeri 1 yang terletak di Kampung Suka Maju. Satu-satunya sekolah yang ada di kampung itu. Letak Kampung Suka Maju jauh dari perkotaan. Hamparan sawah yang luas tampak mendominasi kenampakan alam wilayah Kampung Suka Maju. Kampung ini dibatasi oleh dua sungai yang cukup besar. Air sungainya mengalir jernih menjadi sumber penghidupan untuk mencukupi kebutuhan bagi masayarakat sekitar. Baik untuk mencuci piring ataupun untuk mencuci pakaian. Apalagi disaat musim kemarau. Warga Kampung Suka Maju sangat terbantu dengan adanya dua sungai yang melewati kampungnya.
Suatu saat, ayah Yusuf memanggilnya. “ Suf ! Yusuf ! Kemari sebentar, Nak ! ” ucap ayah Yusuf. “ Ya, Pak ! Sebentar ! ” jawab Yusuf pelan sambil menyelesaikan pekerjaan rumah dari sekolah.
Selesai mengerjakan PR nya, Yusuf segera menghampiri ayahnya yang sedang duduk di ruang depan. “ Duduklah, Suf ! ” kata ayahnya. Yusufpun segera duduk memenuhi perintah ayahnya. Yusuf duduk di kursi mengambil posisi berhadap-hadapan dengan ayahnya. Kebiasaan ngobrol antara ayah, ibu dan anak sudah menjadi hal biasa di keluarganya Yusuf. Rupanya ayah dan ibu Yusuf mengerti betul bahwa komunikasi antar anggota keluarga begitu penting. Mereka sadar betul dengan komunikasi yang baik antara anggota keluarga akan tercipta keluarga yang tenteram dan damai. Semua persoalan yang terjadi di keluarga akan selesai dengan baik. Yusuf merasa bersyukur sekali memiliki keluarga yang baik.
“ Belajarnya sudah selesai, Nak ? ” tanya ayahnya dengan pelan. “ Sudah, Pak ! ” “ Suf, kalau tidak salah sebentar lagi kamu akan menempuh ujian akhir bukan ?” tanya ayah sambil menatap anaknya. “ Ya, antara tiga atau empat bulan lagi, Pak !” “ Sebentar lagi, ya ?” “ Ya, Pak ! ” “ Sudah siapkah kamu menghadapinya ? ” tanya ayah lagi. “ Setiap hari aku belajar dengan sungguh-sungguh, Insya Allah siap, Pak !” jawab Yusuf sambil tersenyum. Yusuf merasa sudah siap, karena memang Yusuf anak yang rajin belajar.
“ Bagus ! Bagus ! Belajarlah dengan rajin dan tekun, agar waktu satu tahun tidak terbuang percuma. Bila kamu sampai tak lulus, berarti kerugian besar. Selain rugi biaya, juga telah membuang waktu dengan sia-sia. Sebab bagi manusia yang berakal, waktu itu nilainya lebih berharga dari pada uang. Ada pepatah berbunyi waktu adalah uang, ” kata ayah Yusuf.
“ Benar, Suf ! Ibu tidak ingin mempunyai anak yang mengecewakan orang tua, ” sahut ibu Yusuf. “ Aku berjanji akan belajar dengan sungguh-sungguh, berusaha untuk tidak mengecewakan orang tua. Aku selalu meminta doa dari Ayah dan Ibu,” kata Yusuf. “ Ibu dan Ayah setiap malam senantiasa memanjatkan doa kepada Allah SWT. Mudah-mudahan perjalanan hidupmu selalu diridhoi Allah SWT. Terutama langkah dan tindakanmu harus selalu baik dan terpuji sehingga disenangi teman-temanmu,” kata ibu Yusuf sambil tersenyum.
“Suf, kalau telah lulus SD kamu mau melanjutkan kemana ? ” tanya ayah Yusuf. “ Pasti ke SMP, Pak ! ” jawab Yusuf mantap. “ Menurut pandangan Ibu, kamu lebih tepat masuk pondok,” ujar ibu Yusuf. “ Apa alasannya, Bu ? ” tanya Yusuf pengin tahu. “ Dalam menjalankan ibadah shalat lima waktu dan ibadah lainnya kamu begitu menonjol dibanding dengan anak-anak seusiamu.” jawab ibu Yusuf. “Ahh, Ibu terlampau memuji!” ungkap Yusuf tersipu malu.
“Ya, Bu! Aku memang berminat sekali kepengin menjadi ulama, tetapi akupun tidak ingin ketinggalan dalam Pendidikan modern. Keinginanku nanti akan mengikuti dua Pendidikan. Pagi sampai siang aku di sekolah umum dan sorenya aku belajar agama di pondok. Dengan begitu keduanya dapat berjalan seimbang. Lahir aku menguasai ilmu keduniaan, bathinku menguasai ilmu agama.” Jelas Yusuf. Ayah dan Ibu Yusuf saling berpandangan dan hanya menganggukkan kepala tanda setuju.
“Bu! Bu! Janganlah menekan cita-cita anak, sebab akibatnya kurang baik. Bila keinginannya kita juruskan ke arah yang berlawanan, hasilnya tak akan memuaskan. Lahir dan batinnya akan tersiksa selamanya. Yang baik bagi kita orang tua yaitu mendukung segala cita-citanya agar tercapai dengan baik,” kata ayah Yusuf mengingatkan istrinya.
“Ibu bukannya hendak menekan cita-citanya, tetapi ingin mengetahui keinginan anak-anak kita. Karena bila ia melanjutkan ke jurusan yang salah atau hanya setengah-setengah akan sia-sia saja. Nah, bila menuntut ilmu pengetahuan hanya setengah hati hasilnya pun tentu tidak akan maksimal,” jelas ibu Yusuf mengemukakan alasannya.