Mohon tunggu...
Ruly Rahadian
Ruly Rahadian Mohon Tunggu... -

Lahir di Bandung. SD di SD Moestopo, SMP di SMP5 Bandung, SMA di SMA1 Bandung, kuliah di Institut Teknologi Bandung.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Pengalaman di Dalam Kubur

9 Maret 2010   01:53 Diperbarui: 4 April 2017   18:28 617
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

[caption id="attachment_89262" align="alignright" width="224" caption="Foto"][/caption] Setiap ada kerabat yang meninggal dunia, sebisa mungkin saya berusaha untuk mengantarkan jenazah sampai masuk ke liang lahat. Pengalaman sebelumnya selalu memberikan saya pelajaran yang tidak pernah saya duga, sehingga keinginan itu selalu muncul pada saat adanya pemakaman kerabat yang meninggal dunia. Sebelumnya, saya tidak bisa membayangkan apa yang terjadi di dalam sana. Namun setelah beberapa kali masuk ke dalamnya, ada rasa tersendiri yang tidak bisa saya gambarkan dengan kata-kata. Berikut ini adalah pengalaman yang saya rasakan ketika menyambut jenazah yang akan dibaringkan di tanah dalam kubur. Untuk menghormati almarhum dan almarhumah, saya tidak akan menyebutkan siapa yang saya antarkan jazadnya masuk ke dalam pelukan bumi. Pengalaman pertama ketika salah seorang keluarga yang berusia lanjut meninggal dunia di sebuah kota di Jawa Barat. Pada saat mengantar jenazah menuju komplek pemakaman, saya melihat banyak sekali orang yang menangisi jazad yang sedang saya usung menuju peristirahatannya yang terakhir. Beberapa pengemis tampak berbaris ingin menyaksikan sosok yang dikenalnya itu dimakamkan. Tampak sebagian dari mereka menangis tersedu-sedu. Salah seorang yang juga ikut mengusung keranda berbisik kepada saya, dan dia tidak tahu bahwa jenazah adalah salah satu leluhur saya karena saya jarang datang ke kota tersebut. Ia berkata bahwa yang sedang kami usung ini adalah seorang dermawan yang selalu memberi makan mereka. Pantas para pengemis yang hadir begitu tampak kehilangan. Setelah sedikit seremoni pendek, tibalah saatnya memasukkan jenazah ke dalam liang lahat. Ketika salah seorang ahli waris mendiang bertanya siapa yang akan mengantarkan orang tua ini ke dalam makamnya, spontan saya mengangkat tangan. ada sedikit keraguan timbul ketika akan masuk ke dalam kuburan tersebut, namun kaki saya terus bergerak menuruni galian yang belum lama digali menjadi liang lahat. Ketika saya berada di dalam, jenazah dari atas diturunkan, saya menerima jenazah seolah menggendongnya, kemudian meletakkannya di bawah. Ada perasaan yang aneh ketika berada di dalam liang kubur itu. Siang yang panas begitu membuat kulit pedih, tapi di dalam kuburan itu tampak dingin. Padahal saya perhatikan di samping, tanah merah yang baru digali itu tampak kering karena panas yang menerpa. Mudah-mudahan tidak berlebihan jika saya merasa ada AC di dalam kubur tersebut, sehingga membuat rasa nyaman berada di dalam kubur itu. Yang membuat saya terkejut lagi, ketika menerima jenazah di kedua tangan yang menghadap langit, jenazah yang saya terima itu ringan sekali! padahal, semasa hidupnya, almarhumah termasuk orang gemuk. Pengalaman kedua juga membuat saya cukup tercengang. Kerabat yang kali ini meninggal dunia adalah sosok yang mempunyai tubuh sedang. Pada saat saya menerima jenazah masuk kedalam kubur itu, saya merasakan beban yang cukup berat, seolah saya mengangkat tubuh berukuran besar dan berbobot tinggi. Anehnya lagi, saat jenazah dimasukkan ke dalam, tiba-tiba air menggenangi bagian bawah tubuh jenazah. Udara di luar makam yang tidak terlalu panas, cukup membuat saya yang berada di dalam kubur keheranan, karena baju yang saya kenakan basah oleh keringat yang tak henti-hentinya mengalir dengan deras. Saya tidak akan bercerita lebih jauh mengenai kejadian sebelum jenazah meninggal dunia. Semoga dengan menceritakan hal inipun bukan merupakan judgment apalagi fitnah. Kejadian aneh saya alami pada pemakaman ketiga salah seorang kerabat yang meninggal dunia karena sakit. Sebalum meninggal, saya sempat menjenguk mendiang, dan alangkah terkejutnya saya ketika masuk ke rumah sakit. Dari ujung terluar lorong yang berjarak sekitar duapuluh meter telah berjajar orang duduk bersila di lantai rumah sakit, membacakan surat Yaa Siin untuk mendiang. Perlu diketahui, sejak kecil hingga paruh baya, almarhum adalah peran antagonis jika dianalogikan dalam sebuah film. Orang tuanya pun sudah sangat kewalahan mengingatkan sepak terjang mendiang. Entah apa yang membuatnya berubah seratus delapanpuluh derajat, ketika dua tahun menjelang meninggalnya, mendiang menghimpun warga membangun sebuah masjid kecil di dekat lapangan fasilitas umum perumahan tempatnya tinggai. Setiap hari ia belajar dan belajar ilmu agama, dan selalu menyampaikan apa yang dibacanya kepada warga melalui kegiatan masjid yang dibinanya. Sebelum sakit stroke yang menjemputnya menemui ajal, ia sudah dianggap sebagai tetua warga yang arif dan bijak, serta sering dimintai pendapat jika ada masalah warga. Sungguh luar biasa kuasa Allah, jenazah yang saya terima di bawah sana ternyata sangat ringan dengan semilir sejuk hawa dingin di dalam kubur. saya merasa benar-benar merinding jika mengingat pengalaman itu. Saya berkesimpulan, ternyata Allah Maha Pengampun. Jika mendengar perjalanan hidupnya yang komplit dengan aneka ketidakbaikan, bahkan dengan bahasa sederhananya, hanya tidak membunuh saja. Pada waktu menghadap Sang Khalik, dengan perubahan sikap dan bantuan doa warga yang mencintainya, semoga almarhum mendapat ampunan dan tempat yang mulia di sisiNya. Lewat tiga kejadian ini, saya merasa diingatkan bahwa di dalam sana ternyata bukan sekedar tanah gelap tanpa makna. Berbagai macam fenomena aneh dan tidak pernah terbayang oleh saya sebelumnya, bahwa di dalam sana adalah cerminan diri kita semasa hidup. Saya tidak bisa memberi analisa secara benar menganai fenomena tersebut, karena saya bukan orang yang menguasai ilmu yang berkaitan dengannya. Namun setelah melewati beberapa kejadian ini, saya sebagai manusia yang masih hidup, selalu menunggu ilmu baru ketika membawa jasad mati untuk beristirahat yang terakhir kalinya. Ada rasa cemas yang menurut saya wajar sebagai manusia yang selalu tidak merasa siap menghadapi kematian yang tidak pernah kita tahu sebelumnya. Barangkali itu baru satu tahap rasa cemas menghadapi kematian. Belum lagi pada tahap berikutnya. Semoga ini bisa jadi bahan perenungan bagi kita semua yang pasti akan diantar menuju tempat peristirahatan terakhir di bawah sana.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun