Peristiwa ini terjadi pada tahun 2000, ketika saya bekerja di sebuah perusahaan rumah produksi di Jakarta. Tidak ada yang istimewa pada hari itu, seperti biasanya saya mempersiapkan diri untuk bekerja di pagi hari. Waktu itu saya tinggal di sebuah rumah kos di bilangan Pondok Indah Jakarta Selatan, karena kebetulan kantor tempat saya bekerja pun berada di lokasi yang sama. Kegiatan rutin setelah mandi, saya melakukan ritual yang sama, yaitu bercukur, menyisir, merawat wajah dengan serius dengan niat tebar pesona karena masih belum laku, alias masih menjomblo. Namun ada perasaan sedikit kurang enak, karena ketika melewati kamar pengelola rumah kos itu, ada rasa aneh yang membuat saya merinding. Ada partikel-partikel bau kurang sedap yang terus menempel di bulu hidung saya, sehingga ketika saya berjalan menuju kantorpun, bau itu masih akrab bersama saya. Dengan semangat yang tinggi, hari itu saya menyelesaikan pekerjaan kantor, sehingga makan siang begitu saya nikmati dengan porsi yang cukup banyak. Kira-kira lima menit setelah saya menyelesaikan makan siang saya, telepon di meja saya berdering. Ternyata teman saya yang tinggal dekat rumah kos itu meminta saya untuk segera datang ke rumah kos. Tanpa pikir panjang saya bergegas menuju rumah kos, dan pemandangan yang terjadi di depan rumah itu cukup mengejutkan saya. Banyak orang berkerumun, ditambah beberapa orang petugas kepolisian. Saya berlari kecil masuk rumah itu dan sangat terkejut ketika meihat kamar pengelola terbuka dan melihat sosoknya tergeletak di lantai kamar itu. Saya segera menghampiri kamarnya dan melihat pengelola rumah itu ada dalam posisi telungkup. Badannya memar, serta ada sedikit cairan menggenang di sekitar tubuhnya. Bau yang saya curigai sejak pagi itu ternyata berasal dari jenazah yang saya kenal akrab, karena sering nonton televisi bersama di ruang tamu. Maklum, karena kepercayaan dari pengelola, saya adalah penghuni laki-laki satu-satunya di rumah kos khusus perempuan. Sejak berdirinya, rumah kos itu tidak pernah menerima penghuni laki-laki kecuali saya. Jadi pengelola itu sering ngobrol dan nonton tinju bersama-sama saya. Karena keluarga menolak untuk visum, maka polisi tadi pulang ke kantornya lagi. Kerabat pengelola itu tidak ingin menjadikan kematian ini masalah. Mereka menganggap kematian kerabatnya itu akibat dari serangan jantung yang dideritanya sejak lama. Rasa sedih dan terkejut membuat rasa mual yang ada di perut saya yang penuh karena baru makan siang dengan porsi cukup besar itu tidak berarti apa-apa. Segera saya ikut membantu mengusung jenazah ke bawah, karena kamar itu berada di lantai tiga. Permasalahan timbul karena jenazah yang meninggal sejak empat hari yang lalu itu sudah kaku, sehingga tidak bisa melalui tangga rumah. Akhirnya kami membuat semacam tali timba, sehingga jenazah dikerek ke bawah lewat balkon samping rumah. Kami segera membersihkan ruangan itu, karena lalat hijau berukuran sebesar kacang merah masih banyak mengerumuni lantai ruangan itu. Setelah bersih, saya berencana kembali ke kantor. Sebelum berangkat, ternyata satu persatu penghuni kos yang kesemuanya perempuan itu datang. Semua melakukan hal yang sama, yaitu keluar dari rumah kos ini tinggal di kawan dan saudaranya, untuk sementara sebelum mendapatkan rumah kos baru. Karena saya tidak ada pilihan lain, terpaksa saya tinggal di rumah kos itu. Sekembalinya dari kantor lepas magrib, saya datang ke rumah kos. Di depan, tetangga-tetangga masih berkumpul. Mereka bertanya apakah saya berani menginap di rumah itu. Saya jawab, saya berani. Tibalah saat yang ditunggu-tunggu, yaitu waktu tidur. Hidung saya masih juga mencium aroma jenazah yang sangat tidak mengenakkan penciuman saya. Berkembanglah pikiran yang tidak-tidak. Jangan-jangan ini, jangan-jangan itu. Itulah yang ada di benak saya. Belum lagi sesekali lalat hijau masuk ke kamar saya melalui celah ventilasi. Cukup terganggu dengan suasana seperti itu. Menjelang pagi saya baru bisa terlelap. Itupun diberi bunga tidur yang sangat tidak nyaman, segala sesuatu yang berhubungan dengan kematian. keesokan harinya saya menaburkan kopi di lantai depan kamar almarhum pengelola untuk menyerap bau yang begitu menusuk. Namun taburan kopi ini tidak berpengaruh secara signifikan. Malam harinyapun lalat-lalat hijau menjadi semakin akrab dengan saya. Selama tiga hari, saya tinggal sendiri di rumah itu dengan ditemani bau-bauan dan ekstra lalat. Bau jenazah benar-benar hilang setelah hari ke-empat. Tiga hari itu merupakan hari yang sangat tidak menyenangkan. Namun saya mendapat pelajaran besar dengan "bermalam bersama jenazah", yaitu; kita tidak akan pernah tahu kapan kita akan mati, dimana kita akan mati, dan dengan cara apa kita akan mati. Ketiga hal itupun saya rasa bukan merupakan indikator dari segala bentuk amalan kita selama hidup, karena jika Allah menginginkan umatnya kembali kepadanya, Ia akan lakukan tanpa peringatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H