Identitas Para Pecinta Buku
Ketika saya iseng membuka-buku buku koleksi saya warisan dari kakek yang diterbitkan antara tahun 1924 sampai dengan 1960an, tiba-tiba terpikir soal Ex Libris yang menghiasi hampir semua buku tua itu. Mungkin kata Ex Libris sekarang tidak lagi sepopuler dulu. Sampai tahun 60'an, masih banyak kolektor buku yang menggunakan Es Libris di buku-buku koleksinya.
Jika kita membuka sampul buku, ada sebentuk kertas bergambar yang ditempel pada bagian dalam sampul buku yang rata-rata masih menggunakan hard cover. Tujuan penempelan Ex Libris ini adalah sebagai identitas pemilik buku tersebut. Lalu apa arti kata Ex Libris? Dari bahasa Latin, Ex Libris berarti Buku dari ... atau terjemahan bebasnya Buku Milik... Biasanya selalu diikuti oleh nama pemiliknya. Misalnya Ex Libris Rahadian Suadi, berarti Buku milik Rahadian Suadi.
Ex Libris ini sudah digunakan pecinta buku sejal 500 tahun yang lalu. Dibuat dengan berbagai macam teknik cetak seperti woodcut, linocut, intaglio printing seperti etching, aquatint, engraving dan lain sebagainya seperti silkscreen dan litography. Umumnya sekali produksi, Ex Libris ini dibuat dengan edisi terbatas per 50-100 lembar. Karena dianggap mempunyai nilai seni, maka Ex LIbris ini dibuat dengan nomor seri dari seniman pembuatnya. Umumnya, ukuran Ex Libris tidak melebihi 20X22 cm, dan dicetak diatas kertas tidak lebih dari 200gr.
Diperkirakan sejak tahun 1470 sampai kini telah diproduksi sekitar 500.000 Ex LIbris. Selain menjadi tradisi bangsa Eropa dan Amerika sejak lama, budaya membuat Ex Libris ini menyebar hingga ke Asia, khususnya Jepang dan China. Indonesia sebagai negara koloni Belanda, mendapat pengaruh budaya membuat Ex Libris ini. Selain berfungsi sebagai label nama pemiliknya, mempunyai Ex Libris pada buku miliknya merupakan sebuah kebanggaan intelektual pada saat itu.
Sampai hari ini diperkirakan ada 15.000 orang kolektor Ex Libris tersebar di seluruh dunia. Kok Ex Libris saja dikoleksi? apa anehnya? Ternyata, Ex Libris ini dianggap mempunyai nilai seni yang tinggi, karena banyak kolektor buku lama, terutama yang kaya raya, mengorder Ex Librisnya pada seniman Grafis terkenal seperti Durer, Cranach, Klee, Giacometti, dan lain-lain. Mereka itu seniman kelas dunia! selain itu, Ex Libris mempunyai tema yang berkaitan dengan sejarah, sosial, dan lain sebagainya. Organisasi kolektornya pun ada, seperti American Society of Bookplate Collector and Designers misalnya. Merekapun aktif berkegiatan seperti mengeluarkan majalah bulanan, dan menggelar kompetisi mendesain Ex Libris.
Sebuah budaya intelektual yang kini sudah hilang di tanah air kita. Jangankan berpikir tentang Ex Libris, mengatur buku secara sistematis di rakpun tidak banyak yang melakukannya dengan baik. Apalagi dengan adanya teknologi yang semakin kompleks dan mutakhir, membaca buku bukanlah sesuatu yang "ribet". Cukup membuka komputer, PDA atau e-book reader, buku apapun dapat didapat dan dapat digunakan secepat kita inginkan. Jadi sangatlah wajar jika Ex Libris tidak akan menempel lagi di buku-buku kita.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI