Mitos berawal dari sebuah peristiwa yang dibawa dari mulut kemulut dalam kurun waktu yang cukup panjang hingga berabad-abad lamanya. Hingga saat ini, mitos laiknya sebuah udara, ada namun tak terlihat. Kemudian pada waktunya lagi, udara tersebut menguap dan menjadi sebuah embun bibir yang memberikan pernyataan, “Aku ada. Lihat, kalian tengah membicarakanku.”
Mitos Tanjakan Emen adalah mitos yang melegenda bagi pengendara yang melakukan perjalanan dan melewati rute tanjakan Emen ini. Kita akan melihat bagaimana sebuah mitos ini dibagi dalam kajian ilmu filsafat ontology, epistemology, dan axiology.
Ontologi.
Berada di Kampung Cicenang, Kecamatan Ciater, Kabupaten Subang, itu memang dikenal angker karena adanya mitos yang dapat menyebabkan kecelakaan jika kita tidak berperilaku yang dianggap mengakui keberadaan “hantu Emen” ini.
Mitos yang telah ada sejak tahun 1950 ini bermula ketika sebuah sopir oplet jurusan Lembang-Subang yang bernama Taing. Julukan nama Emen melekat kepadanya, karena memiliki ketertarikan pada permainan cemen di Terminal Mandarin Lembang saat menunggu penumpang. Taing atau Emen, tak meninggal di lokasi kejadian saat oplet berpenumpang 12 orang yang dikemudikannya mengalami kecelakaan hingga terbakar pada 1956. Ketika itu, Emen tengah menarik oplet ke arah Subang, ia meninggal di rumah sakit berdasarkan keterangan saksi pada saat itu. (Source: Detik.com)
Tepat setelah kematiannya, kemudian sering terjadi kecelakaan pada tanjakan yang sama ketika Emen kecelakaan, disinyalir hantu Emen gentayangan dan mengganggu pengendara yang tidak memberikan sikap “hormat” kepadanya. Sikap tersebut, seperti yang diketahui berdasarkan warga sekitar harus mengelaksoni ketika melewati tanjakan tersebut dan memberikan sepuntung rokok. Jika hal tersebut tidak dilakukan kemungkinan hal-hal tidak diinginkan terjadi di sana.
Adapula Sebagian masyarakat yang tak mengindahkan mitos itu dan dengan logis menganggap setiap kecelakaan di tanjakan Emen hanyalah sebuah kecerobohan ketika berkendara sebab bentuk tanjakan tersebut juga cukup curam dan membahayakan jika tidak berhati-hati.
Epistimology.
Di dalam masyarakat, Tanjakan Emen ini awalnya tersebar dari mulut ke mulut. Namun seiring nya waktu semakin banyak masyarakat yang mengetahuinya, sehingga banyak di bahas dalam artikel maupun sosial media. Bahkan sekarang di tanjakan itu dibuat satu tuga yaitu Tugu Emen, dimana dibuat dari bangkai bus sebagai ornament utamanya.
Axiology.
Diluar konteks bahwa peristiwa Emen terjadi atau tidak, memang banyak sekali kecelakaan yang terjadi di tanjakan tersebut. Peristiwa yang diceritakan mengenai Emen ini adalah penggambaran situasi yang nyata. Karena itu sekarang masyarakat akan lebih berhati hati jika melintasi tanjakan tersebut. Ini juga merupakan fungsi dari mitos itu sendiri, bukan hanya sebagai cerita di dalam masyarakat saja. Tetapi juga pengingat kita bahwa hal buruk dapat terjadi di jalan yang kita lintasi.