Perdebatan mengenai perlu atau tidaknya hukum syariah diterapkan secara legal dan formal di Indonesia tengah memanas sejak beberapa tahun belakangan ini, meski sebenarnya akar inisiatif mendorong Indonesia untuk bercorak lebih islami tersebut sudah berlangsung sejak awal negara ini didirikan. Alasannya bermacam-macam, namun yang cenderung dikemukakan berbentuk kuantitatif dangkal, seperti sekedar fakta bahwa pemeluk agama Islam adalah penduduk mayoritas Indonesia. Padahal, yang banyak belum tentu selalu menghasilkan solusi tepat untuk semua pihak.
Melalui tulisannya yang berjudul "NKRI Bersyariah Atau Ruang Publik Yang Manusiawi?", Denny JA secara lugas membahas bagaimana negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim justru lalai menghadirkan ekosistem yang islami dibandingkan dengan negara-negara Barat.Â
Dalam riset peringkat keislamian sebuah negara yang dilakukan pakar-pakar yayasan Islamicity Indices tersebut, negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim berada dalam peringkat sedang, bahkan rendah. Pemuncaknya? Selandia Baru, dan 10 besarnya bahkan diisi oleh negara-negara semacam Irlandia yang mayoritas berpenduduk Kristen, atau Swedia yang lebih dari setengah masyarakatnya tidak religius.
Hal ini kian menunjukkan fakta bahwa aturan-aturan bercorak Islam, seperti syariah dan ragam implementasinya, bukan lagi jaminan untuk menghasilkan nilai-nilai keislamian sebuah negara.Â
Gagasan 'NKRI Bersyariah' yang diserukan oleh Habib Rizieq dan kelompoknya secara otomatis pun menjadi sangat meragukan. Namun, bukan berarti syariah itu buruk, hanya saja perkembangan zaman telah menghadirkan berbagai macam pemikiran dan kebijakan alternatif yang benefitnya lebih luas dan adil bagi semua pihak. Di Indonesia, kita sudah mengenalnya sebagai konsepsi Pancasila.
Indonesia adalah hasil usaha patungan dari berbagai elemen gerakan kemerdekaan di masa silam, dan Pancasila adalah kompromi yang paling tepat untuk merangkul kepentingan orang-orang Indonesia yang sangat beragam dalam urusan agama, budaya, dan pola sosial masyarakatnya. Dalam Pancasila, perspektif agama juga sudah dirangkul bahkan dicantumkan secara terhormat dalam sila pertama.
Lantas, untuk apa lagi mewacanakan syariah yang justru terlihat sebagai bentuk keegoisan kelompok Islam Indonesia yang seakan ingin lebih diistimewakan daripada yang lainnya?
Atau mungkin masalahnya adalah bahwa memang cukup banyak orang-orang Indonesia yang tidak cukup mengerti sistem dan falsafah negaranya sendiri sehingga mereka mengajukan gagasan-gagasan yang substansinya sebenarnya tumpang tindih dengan apa yang sudah ada. Wacana syariah pun seakan menjadi wacana pemborosan, atau lebih buruknya, menjadi alat politik semata selama tahun-tahun politik.
Syariah sebenarnya sudah diterapkan dalam beberapa kasus di Indonesia, seperti dalam urusan perbankan dan peraturan-peraturan daerah. Khusus yang disebut terakhir, alih-alih menjanjikan suasana tentram yang menyeluruh, penerapan syariah justru dikhawatirkan akan mendorong sikap diskriminatif di kalangan masyarakat.Â
Misalnya di Aceh yang wilayahnya mendapatkan keistimewaan menjalankan syariah Islam, penerapan terhadapnya cenderung tebang pilih dan pragmatis. Belum ditambah lagi dengan peraturan-peraturan turunannya yang cenderung sembrono seperti larangan perempuang mengangkang, larangan makan dan minum dalam satu meja, dan lain-lain.
Selain itu, gagasan NKRI Bersyariah sampai sekarang masih berada dalam konsep yang cenderung abstrak sebagai proposal politik serius untuk ditanggapi seperti misalnya Piagam Jakarta (1945), perdebatan terkait Pancasila dan Islam dalam Sidang Konstituante (1957), pemberontakan DI/TII dan angan-angan Negara Islam Indonesia (1950-an), atau bahkan gerakan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang belum lama ini dibubarkan pemerintah. Dengan rekam jejak seperti itu, seharusnya secara ingatan kolektif publik Indonesia akan menolak gagasan NKRI Bersyariah.