Mohon tunggu...
Rachmat PY
Rachmat PY Mohon Tunggu... Penulis - Traveler l Madyanger l Fiksianer - #TravelerMadyanger

BEST IN FICTION 2014 Kompasiana Akun Lain: https://kompasiana.com/rahab [FIKSI] https://kompasiana.com/bozzmadyang [KULINER] -l Email: rpudiyanto2@gmail.com l IG @rachmatpy @rahabganendra

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Antara Kakek Asongan, Perkutut Bapak dan Edukasi Commonwealth Life

19 Juni 2016   20:02 Diperbarui: 19 Juni 2016   21:34 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. (Sumber Twitter @CommLifeID)

KAKEK itu berjalan perlahan-lahan di depan tikar tempatku menikmati lesehan “kopi joss” pinggiran jalan kawasan Mangkubumi Yogyakarta. Kulitnya hitam tak bersih. Parasnya renta dengan kerutan kulit menua. Ekspresi wajahnya menyembunyikan kepolosan dengan gurat-gurat tegas yang menandakan kerasnya hidup yang dijalaninya. Sebuah kotak kecil di dadanya. Tali yang mengikat kotak itu melingkar di lehernya. Tisu-tisu beragam ukuran nampak di kotak yang terlihat berat di bungkuk badannya.

Dia menoleh kepadaku. Senyum tuanya mengulum tipis. Tangannya menyorongkan sebungkus tisu dagangannya. Aku mengerti, dia menawarkannya untuk kubeli. Dua jari ku acungkan. Kakek itu menangkap maksudku. Ia tersenyum senang, lalu mengambil dua bungkus tisu. Lembaran Rp. 20.000 kuberikan. Sambil kukibaskan tangan, tanda agar uang kembaliannya untuk kakek saja. Diselipkannya uang itu di celah kotak asongannya. Mengucapkan terima kasih dengan khas logat kental Jawanya, lalu berlalu. Aku mengamati hingga kakek itu menjauh.

Sebuah frame kejadian setahun lalu, selalu teringat kembali jika merenung tentang siklus hidup, lahir, tua, sakit, mati. Yaaa kakek penjual tisu yang usianya kutaksir lebih dari 75 tahun. Terlihat lebih tua dari bapak saya. Usia yang sebenarnya tak produktif lagi, namun masih ‘terpaksa’ bekerja. Tentu buat cari makan, mempertahankan hidup. Kakek itu sudah tua. Entah kehidupan seperti apa yang ditanggungnya di usia senja itu. Aku hanya menghela nafas. Momen itu melecutkan sebuah warning, “Jika umur panjang, aku bisa seusia kakek itu. Lalu apakah aku akan seperti kakek itu?”

*

Teringat bapak dan ibu di kampong. Di usia senja yang mendiami rumah yang dulu berhias kami, 5 anak-anaknya. Bapak yang sudah lama pensiun dari tugas sebagai Pegawai Negeri Sipil. Mengisi hari-hari tuanya dengan bersahaja, setelah kami ‘mentas’ dari pendidikan dan memiliki kehidupan masing-masing. Bapak menikmati hari tuanya dengan tenang. Sibuk dengan koleksi burung perkutut. Yaaa, 'manggung' atau suara keriuhan perkutut yang menyejukkan hati sangat disukainya. Telaten merawat, memberi makan adalah satu fragmen bahagianya kehidupan di usia senjanya, di masa non produktifnya. Masih ada lagi kesenanagannya merawat kebun kecil seledrinya. Semua itu bukan aktivitas kesibukan yang berat, tapi bukan juga sekadar mengisi waktu luang yang banyak dimilikinya, namun adalah cermin kebahagiaan. Cermin dari perjuangan selama ini 'menanam' benih upaya untuk menciptakan hari esok yang lebih baik. 

Dulu saat masih berdinas, 5 petak tanah dibelinya bertahap. Tanah yang cukup untuk dibangun rumah kecil. Yaaa, tanah-tanah itu ternyata ‘disediain’ sebagai jatah warisan  untuk ke lima anaknya. Bapak sudah sejauh itu berpikir untuk ketenangan kehidupan masa depan dirinya dan keluarga. Bahkan saat kami (anak-anaknya) jauh berpikir untuk memintanya. Tidak sama sekali. Dan kini  tiga diantaranya sudah dibangun rumah dan ditempati saudaraku bersama kelurganya. Aku dan adik bungsu, diproyeksikan kapling rumah dan tanah yang ditempatinya saat ini.

Itulah bapakku. Dulu semasa aku sekolah dan lulus, diberi kebebasan untuk menentukan sendiri sekolah yang dipilih. Bapak bilang, aku yang tau, apa yang dimau. Posisi bapak adalah yang mendukung  moril, memberikan sharing pemahaman dan tentu biaya. Yang pasti pendidikan penting dan itu yang ‘hanya’ bisa diberikannya. Itu yang membuatku mencari informasi seluas-luasnya tentang sekolah maupun perkuliahan sebagai bekal untuk menapak dunia kerja yang tentu ujungnya adalah kehidupan masa mendatang. Kakak-kakakku yang banyak memberikan saran.

Bapak mengajarkanku tentang kemandirian yang akhirnya aku terlatih membentuk ‘kewibawaan’ pada tanggungjawab hidupku sendiri. Tanggungjawab tentang masa depanku. Lalu apakah aku akan seperti bapakku?

*

Kisah kakek dan asongan di atas, memuat makna masing-masing namun memiliki kesamaan tentang merancang masa depan. Bagaimana kediupan masa depan itu tergantung dengan apa yang kita lakukan di saat ini. “Membeli’ masa depan diperlukan upaya-upaya kita memiliki senjata untuk mendapatkannya. Strategi, perancangan, perhitungan yang tepat untuk menggapai tujuan. Tentu masa depan hari esok berkaitan erat dengan kesadaran diri kita sendiri untuk merancangnya. Dan itu harus dilakukan. Hisup bukan hanya hari ini. Hidup adalah juga hidup di masa depan.

Masa depan, hari esok tentu tak hanya soal kehidupan material, namun mencakup segala kebutuhan lahir dan batin. Kehidupan lahir berhubungan kehidupan materi yang mapan dan terencana. Bagaimana kita bisa bijak mengelola dari ragam kebutuhan yang menuntut pemenuhan. Baik bagi diri sendiri, maupun keluarga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun