Pada saat menjalankan ibadah puasa, kondisi "menderita" dari rasa haus, lapar, menjaga perilaku, menahan nafsu, dan emosi itu merupakan sarana kultivasi. Mengasah hati kita untuk menjadi pribadi yang bertanggungjawab secara moral terhadap diri sendiri dan orang lain.
Secarik kertas kuterima dari Satpam komplek perumahanku di awal Ramadan ini, saat aku bertemu di depan gardu jaga.Â
"Pak ada surat dari lingkungan,"katanya.
Aku terima, membuka lalu membacanya. Oooh psurat pemberitahuan soal iuran untuk takjil bagi anak-anak pengajian bulan Ramadan di masjid komplek.
"Terima kasih,"Â kataku dan pamit berlalu.
Itu fragmen kecil di awal puasa ini. Aku memang jarang berada di rumah komplek ini. Jadi banyak info dari lingkungan Rukun Warga, sering melalui satpam komplek ini.
Mungkin terlihat sepele, kerelaan menyumbang takjil, namun bagiku ini sesuatu yang bermakna "dalam" mengingat kerelaan hati. Sifatnya sukarela, tidak mewajibkan. Ada pesan tersirat, bagaimana kita harus berempati saat hidup bersosial dengan tetangga dan lingkungan. Ini bukan  soal sepele, mengingat di lingkungan sosial saat ini, yang tak jarang individualistik.
Ramadan dan Kultivasi Diri
Alhamdulilah, 12 hari puasa sudah kita jalani di bulan baik, bulan suci Ramadan tahun ini. 12 hari pula, kita "belajar" menempa diri meningkatkan kualitas diri sebagai insan mahlukNya.
Secara pribadi, Ramadan memberi banyak makna tentang bagaimana kita sebaiknya menjalani kehidupan sehari-hari. Kedudukannya sebagai manusia, mahluk mulia.