“Bakar iki Kang.”
“Yooo.”
“Ora nganggo gosong yooo.”
KANG Kajat bakul angkringan itu terkekeh. Sembari menjulurkan tangannya ke piring plastic kecil yang berisi sate ayam, tempe bacem, dan sate endhog puyuh. Itu kegemaranku. Lauk pendamping Sego kucing yang sekepal gak nyampe itu.
Itu salah satu memori yang paling kuiingat sejak menghirup udara Jogja setiap hari, selama kurun waktu 9 lebaran. 9 tahun yang tentu bukan waktu sebentar. Malam-malam yang tak dingin, namun secangkir kopi jahe khas Angkringan Kang Kajat di Samirono, siap sedia menghangatkan badan setelah seharian sibuk ngampus. Kuliah.
Kaki ‘jigang’ di dingklik (bangku) sudah menjadi andalan yang PeWe. Dan jangan pernah duduk di bangku dekat cerek yang kemebul itu. Itu udah pasti tempat paduka raja Rahtomo. Kawan berambut gondrong satu komunitas di Paragon plus kampus. Ritualnya adalah ‘swalayan’ memanggang sate kesukaannya, satu per satu, tak mau diganggu siapapun. Satu dibakar, satu pula langsung habis dinikmati.
Atau seperti halnya di kawasan bergengsi ala Malioboro (dulu), atau geser dikit ke jalan arah Tugu, deretan angkringan lesehan yang sering menjadi pilihan. Lesehan dengan mantan yang romantic teriring pengamen jalanan dengan vocal tak kalah dengan Andre Stinky #halahhh. Selonjoran, asap rokok kretek mengepul berpadu dengan pahit kopi ‘joss’ arang, diantara belain dingin malam angin dari arah Merapi.