[caption caption="25 Tahun JNE (sumber foto http://www.jne.co.id)"][/caption]***
ADA kisah menarik tentang Pisau Kunmen. Sebuah kisah mengubah peluru meriam menjadi pisau dapur. Pada tahun 1950an, terjadi perang ‘meriam’ yang disebut Perang Meriam Kunmen. Pemerintah komunis Tiongkok mengerahkan 90.000 personel dan 500 unit meriam untuk menembakkan proyektil meriam menyeberangi selat, menggempur sasaran di atas pulau dan menutup jalur lalu lintas laut. Sebanyak 470.000 peluru meriam diluncurkan ke tanah Kunmen seluas 150 km². Segitu banyaknya peluru meriam yang bertebaran di tanah Kunmen, oleh warga Kunmen, cangkang peluru meriam digunakan sebagai bahan pengecoran dan mengolahnya menjadi pisau dapur Kunmen yang terkenal. Bahkan merek dagang “Pisau baja Kunmen” telah terkenal dan menjadi souvenir wajib oleh banyak pengunjung Taiwan dari Daratan Tiongkok. Sebenarnya kisah “Pisau baja Kunmen” berawal di jaman Dinasti Qing, Tiongkok (1875-1908). Cikal bakal industri pisau Kunmen, Wu Zongshan mulai mempelajari teknik ketrampilannya di Xiamen (Amoy) Fujian, khususnya sebagai pande besi dan pengecoran peralatan tani. Hingga darah keturunannya mewarisi ketrampilannya itu, turun temurun.
Apa yang dilakukan oleh warga Pulau Kunmen dengan ide, gagasan memanfaatkan materi peluru meriam yang nampak tak berguna menjadi sebuah materi yang bermanfaat dan berharga. Ide kreatif yang muncul dalam kondisi dan situasi di sekitarnya. Proses kreatif yang menunjang perekonomian masyarakat seluasnya. Bagi sebuah negara, mengembangkan ekonomi kreatif menjadi salah satu kunci untuk mengangkat pertumbuhan perekonomian. Bahkan ekonomi kreatif dipandang penting karena tidak akan habis di masa mendatang. Hal yang sangat berbeda dengan komoditi migas, misalnya yang tidak bisa terbaharukan.
*
Untuk mengetahui lebih dalam soal ekonomi kreatif ini, beruntung saya ikut dalam acara “Kompasiana Nangkring bersama JNE” pada Jumat 11 Desember 2015, di kantor pusat JNE, Jakarta, yang menghadirkan narasumber berkompeten di bidangnya, khususnya berkaitan dengan soal ekonomi kreatif yang semakin santer didengungkan belakangan ini. Meski sebenarnya ekonomi kreatif telah ada dan tumbuh di masyarakat sejak lama. Nah berikut ini pemahaman saya tentang industry ekonomi kreatif berkaitan dengan perusahaan JNE yang telah berdiri 25 tahun.
Acara yang mengambil tema “Industri Kreatif pada Era Digital” itu dihadiri oleh Bp. Mohamad Feriadi selaku Presiden Direktur JNE, Ricky Pesik selaku Wakil Kepala Badan Ekonomi Kreatif, Abdul Rahim Tahir selaku CEO Group JNE, Iwan Setyawan selaku CEO Provetic dan Achmad Zaky selaku CEO Bukalapak.com. Para narasumber yang lengkap di masing-masing bidang, ada dari perwakilan pemerintah, dunia sosial media, dunia internet dan dari JNE sebagai pelaku bisnis.
Negeri Menuju Ekonomi Kreatif
Presiden RI, Joko Widodo pada 14 Agustus 2015 lalu, pernah mengadakan pertemuan dengan para pelaku sektor ekonomi kreatif. Seperti diungkapkan Bapak Ricky Pesik selaku Wakil Kepala Badan Ekonomi Kreatif (BEKRAF) di acara “Kompasiana Nangkring bersama JNE” bahwa Presiden menuliskan pesan bahwa ekonomi kreatif harus menjadi tulang punggung Indonesia di masa mendatang. Hal tersebut dipandang perlu karena ekonomi kreatif yang berbasis pada ide, pikiran, gagasan dan kemampuan manusia yang tak mungkin habis. Berbeda dengan bisnis energy yang pada suatu saat akan habis.
“Inilah sasaran Badan Ekonomi Kreatif, bagaimana membawa Indonesia secara signifikan di pentas dunia, tapi dengan paradigma baru,” jelas Ricky Pesik dihadapan Kompasianer dan awak media.
[caption caption="Ricky Pesik selaku Wakil Kepala Badan Ekonomi Kreatif, saat memaparkan presentasinya. (foto Ganendra)"]
Ricky menjelaskan bahwa paradigma lama, ekonomi dan budaya perlu paradigma baru bahwa ekonomi plus budaya kreatifitas adalah ‘currency’ baru. Hal itu yang menjadi obyek dari Badan Ekonomi Kreatif untuk membawa Indonesia menjadi pemain utama dalam dunia global. Melalui bisnis kreatif secara keseluruhan. Saat ini sektor ekonomi kreatif dibawah naungan Badan Ekonomi Kreatif yang dibentuk pada 20 Januarin 2015 itu, di berbagai sector, seperti interior, fashion, film, kraf, kuliner, advertising, performing art, seni rupa, tv, radio dan lain-lain.
Hal yang menarik disebutkan Ricky bahwa di Indonesia kontribusi ekonomi kreatif berdasar data 2014 sudah “6 koma sekian persen”. Dan menjadi sektor yang pertumbuhannya paling stabil tiap tahun bahkan di kala perekonomian Indoensia melambat. Jadi asumsi pada 2015 masih tinggi.