[caption id="attachment_358342" align="aligncenter" width="600" caption="Kala Makara, pintu gerbang utama Taman Mini Indonesia Indah nan megah. Foto diambil pada Minggu 29 Maret 2015. (Foto Ganendra)"][/caption]
MATAKU tak sedikitpun mengerjap. Sembari memicingkan mata kananku, aku asyik mengintip dibalik bingkai kecil itu. Sebuah obyek yang ‘menggoda' menjadi target bidikan kameraku. Dua bocah perempuan. Tanpa hirau, berdua fokus melenggak lenggokkan badannya dengan gemulainya. Sambil berdiri berhadapan tak henti mengulang-ulang gerakan. Gerakan sebuah tarian. Jari jemarinya membentuk simpul, diayunkan mengikuti gerakan bibir yang menghitung angka. Satu dua... tiga empat... satu dua.. tiga empat. Kakinyapun harmonis mengikuti hitungan, berpadu padan dengan gerakan badan dan ayunan tangan.
Sementara sekumpulan bocah lainnya yang melakukan gerakan tarian yang berbeda disampingnya, tak membuatnya terganggu. Laki-laki dan perempuan. Sementara Ruri, demikian nama seorang remaja memperhatikan dengan seksama. Ruri sedang menggantikan peran instruktur yang tak hadir di kesempatan latihan Minggu siang itu.
"Kami sedang latihan Tari Dayak, Om," jawabnya saat aku tanya di sela-sela latihan mereka di Anjungan Kalimantan Barat di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Minggu 29 Maret 2015.
[caption id="attachment_358344" align="aligncenter" width="600" caption="Setiap hari Minggu, anak-anak ini berlatih menari, khususnya tarian Dayak di Anjungan Kalimantan Barat. Foto diambil pada Minggu 29 Maret 2015. (Foto Ganendra)"]
[caption id="attachment_358363" align="aligncenter" width="600" caption="Sebuah panggung mini di Anjungan Kalimantan Barat ini menjadi tempat latihan menari Ruri dan kawan-kawannya. Foto diambil Minggu 29 Maret 2015. (Foto Ganendra)"]
Bocah-bocah dari ragam usia itu nampak sekali bersemangat. Wajah-wajah berkeringat mereka tak sedikitpun terlihat lelah. Mereka bergembira. Mereka mungkin tanpa sadar telah berperan melestarikan budaya adat mereka. Tarian adat Suku Dayak Kalimantan Barat, yang bahkan bukan dari suku mereka sendiri. Yaaa, bocah-bocah yang tergabung di Sanggar Borneo Khatulistiwa itu adalah bocah-bocah yang tinggal di seputaran TMII. Dari beragam sekolah yang berbeda. Dari budaya yang berbeda. Entah apa yang kurasakan melihat mereka berlatih tarian. Tak banyak yang bisa kuucapkan. Aku benar-benar takjub. Hal yang lama sekali tidak pernah aku lihat langsung. Sebuah emosi yang mungkin bergejolak dari lubuk paling dalam. Aku sedang terharu.
Mungkin bocah-bocah itu hanya merasakan kegembiraan bisa menari. Atau mungkin mereka senang dapat berinteraksi dengan kawan-kawannya, bermain dengan berlatih tarian. Mungkin mereka tidak menyadari, bahwa aktivitas berlatih menari mereka itu adalah sangat bernilai. Bukan sekedar tarian, namun sebuah simbolisasi kecintaan pada budaya yang tumbuh perlahan dalam jiwa mereka. Bersemi dan kian memancar dalam setiap gerakan mereka. Dan aku bilang itu suatu hal yang langka di masa kini.
[caption id="attachment_358345" align="aligncenter" width="600" caption="Mereka tergabung di Sanggar Borneo Khatulistiwa yang sering pentas di TMII. (Foto Ganendra)"]
Minggu, 29 Maret 2015 siang, aku sengaja menyempatkan diri mengunjungi ‘miniatur Indonesia' itu. Taman Mini Indonesia Indah yang akan memasuki usia 40 tahun pada 20 April 2015 mendatang. Aku sudah beberapa kali datang ke obyek wisata budaya kebanggaan bangsa ini. Terakhir ke TMII pada tahun lalu saat acara Kompasianival 2014 yang digelar Kompasiana. Sebelumnya pernah datang berkunjung pada 2010.
Mengenang kembali, tepatnya 26 Juni 2010 aku mengantarkan keponakan yang masih duduk di SMP waktu itu. Dia sangat menyukai taman seluas 150 hektar ini. Mulai dari replika rumah adat, Istana bermain, ragam museum, kereta gantung dan lain-lain. Museum menjadi tempat favoritnya.