Sore itu ringtone ponsel berbunyi. Sebuah SMS masuk. “Bro ntar malam jam 19.00 wib datang yaaa ke rumah. Aku nikah,” begitu bunyinya. Hmmm info nikah yang kilat dari sahabat yang sangat dekat.
“Hah! Kilat betul,” itu balasku lewat SMS juga berekspresi kaget.
“Iya laaa mutusinnya baru semalam, ini juga nikah siri dulu kok,” jawaban SMSnya. Putusan kilat untuk sebuah pernikahan.
Meski segudang tanda tanya bergerombol di benak. Saya mencoba bersabar untuk bertanya. Biarlah nanti saja tanyanya, sekarang dia pasti sibuk urusan tetek bengek acara nikahnya itu. Meski katanya acaranya hanya sederhana, mengundang tetangga kanan kiri saja.
Jam 18.30 saya sudah sampai di rumahnya di kawasan Bintaro. Benar, tak banyak ternyata undangannya. Hanya tetangga sekitarnya. 20 orang saja. Saat datang saya ditarik sahabat saya itu ke dalam kamar.
“Ntar kamu jadi wali calon istriku yaa,” pintanya.
“Hah! Kilat betul,” jawab saya kaget. Apalagi saya baru pertama kali ketemu dan kenal calon istrinya itu.
“Kamu selaku paman dia,” terangnya lagi.
Yaa mau gimana lagi tak ada pilihan lain, saya pun mengiyakan. Demi sahabat. Apalagi tak ada orang lain lagi. Kerabat dari pihak istrinya tak ada yang datang. Katanya orangtuanya sudah meninggal. Dia yatim piatu. Segala pertanyaan yang berkecamuk soal istrinya itu, sabar saya pendam. Saya berpikiran baik saja, karena sahabat saya ini kukenal sebagai orang yang teramat baik sejak jaman kuliah dulu sampai saat ini.
Jam 19.30 wib acara dimulai. Setelah pak penghulu dan tetangga berkumpul, acara dimulai. Pertama pak penghulu bertanya, “ Siapa wali perempuan?”
“Ini pamannya pak,” jawab sahabat saya itu sambil menunjuk saya.
“Paman dari pihak mana, bapak atau ibu?” Tanya penghulu lagi.
“Pihak ibu,” jawab sahabatku.
“Wah kalau dari pihak ibu tak bisa menjadi wali mas, harus dari pihak bapak,” katanya.
Krompyang. Haduuh. Seketika keringat sebesar jagung-jagung mengalir di wajah kami. Grogi, malu, blank jadi satu. Dasar tak bisa berbohong. Kok katrok juga yaaa, lupa kalau dari pihak ibu tak bisa jadi wali.
Akhirnya ditawarkan ke para hadirin, siapa yang bersedia jadi wali si calon istri itu. Pak RT jadi korban, semua warga menunjuknya. Dan persis seperti yang terjadi pada saya sebelumnya, Pak RT tak punya pilihan lain. Terpojok, menyerah tak berkutik dan bersedia menjadi wali pihak perempuan.
“Hah! Kilat betul,” gumam saya dalam hati. Wali yang diperoleh secara kilat.
Tak sampai sejam prosesi pernikahan siri itupun berlangsung sukses. Kilat. Semua hadirin menjadi saksi dan menyatakan pernikahan sah. Saya pun hanya berharap pernikahan sahabat itu bisa langgeng, meski semua terjadi dengan persiapan serba kilat. Modal niat yang kuat plus mental nekad menjadi formula sahabatku itu. Apapun prosesnya, saya berharap pernikahan itu terjadi dengan kesadaran penuh untuk tujuan mulia bagi kedua mempelai, dan bukan pernikahan dengan masa yang kilat.
“Bro, selamat ya, semoga berbahagia selalu. Ntar jangan pisah cerai kilat loorr,” candaku seraya berpamitan pulang.
Menikah kilat? Siapa takuut ?? Sayaaaaaaaaaa !!!
Salam
(diangkat dari cuplikan kisah nyata)
Sumber foto: http://manwifeanddog.com/wp-content/uploads/2011/09/marriage-cartoon-proposal.jpg
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H