sebutir waktu hinggap padamu
menceritakan tentang depa-depa pelangi di paras-paras masa lalu
engkau yang bermimpi tentang surga rembulan
dalam cahaya-cahaya yang lama di lubuk penantian
Â
aku penikmat tarian kunang-kunang
di kelam bantaran rumah-rumah pinggiran
yang melukis tentang luka pahit rejeki
diantara aroma-aroma para belang lelaki
kubunuh detik tiap malamnya
kurobek hiasan-hiasan mahkotaku di kepala
kupersembahkan cinta, antara ada dan tiada
semu namun apa daya, nyata
Â
padamu, belia
kulantunkan tembang-tembang harapan tiada sirna
yang membelah-belah temaram di laju malam
dan lihatlah
di ranting-ranting gubuk kugantungkan dongeng-dongeng pelipur lara
di pucuk-pucuk ranggas kayu bertebarkan nyanyian pembunuh pilu
di lengan-lengan keringat berdesah, kualirkan doa-doa tercekat
padamu, belia
kusemayam dirimu di bawah payung-payung berlobang
yang menghalang buih-buih harapan di angan-angan
namun, dengarlah
rintik suara tarian hujan di ujung malam
tiada kebencian dalam basah yang menggigilkan
bahwa cinta ada
dalam nafas kita
di kerat malam berselimut jahanam lentera
***
Jakarta, 17 Februari 2016
@rahabganendra
Sumber gambar ilustrasi di sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H