Mohon tunggu...
Rachmat Pudiyanto
Rachmat Pudiyanto Mohon Tunggu... Penulis - Culture Enthusiasts || Traveler || Madyanger || Fiksianer

BEST IN FICTION Kompasiana 2014 AWARD || Culture Enthusiasts || Instagram @rachmatpy #TravelerMadyanger || email: rachmatpy@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Drama

[FDR] Bimbang

27 Juli 2013   22:09 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:57 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13749373031344004099

[caption id="attachment_269139" align="aligncenter" width="450" caption="http://i.cdn.turner.com/cnn/dam/assets/120710013443-daughter-old-mother-kiss-hospital-c1-main.jpg"][/caption]

Penulis: Rahab Ganendra - No. 49

Kusandarkan kepala di sandaran bangku teras rumah, bermaksud meluruhkan penat dan letih sambil menunggu adzan Isya sekaligus sholat tarawih nanti. Segelas kopi kunikmati setelah berbuka puasa, masih tersisa separo di meja kayu. Hawa terasa dingin sejak hujan menyiram tanah sejam yang lalu. Pandanganku tak lepas dari laron-laron yang beterbangan di sekitar lampu teras. Seakan menghitung jumlahnya, pikiranku bergulat dengan seraut wajah oriental nan sayu. Wajah seorang perempuan yang mengusik relung hatiku dengan cintanya. Setahun lalu.

“Aah gadis yang baik hati, kenapa aku melepaskannya.”

Dia mencintaiku. Aku mencintainya. Kami berpacaran. Dia minta aku menikahinya. Alasannya klise, dia tak bisa menunggu lama. Ibunya meminta itu. Dia hanya ingin membahagiakan hati Ibunya. Ibu yang sudah terlalu tua. Ibu yang tak sabar menimang cucu. Ibu yang tak mau, anak gadisnya menikah kelewat umur.

“Aah bodohnya aku, kenapa aku lepaskan dia. Toh untuk membahagiakan Ibunya juga.”

Aaah tapi… aku khan demi Ibuku juga. Aku teramat menghormatinya. Pikiranku berkecamuk. Teriang kembali kata-kata ibuku di suatu malam. Berulang-ulang. “Hasan, Ibu pesan sama kamu, kalau kakakmu belum nikah, kamu sabar dulu yaaa. Sabar jangan ‘nglangkahi’ kakakmu.”

Aahhh Ibu, aku selalu tak kuasa padamu. Aku teramat menghormatimu. Ibu yang selalu kujaga hatinya setiap waktu. Aahh… runyam, memilihmu atau Ibuku. Pikiranku deadlock bak rapat paripurna DPR. Apa hendak dikata voting harus kulakukan. Aku bertanya padanya “Pilih aku atau Ibumu?”

Aah… (aku mendesah)

Kuraih gelas kopi itu. Air kopinya yang telah dingin membasahi tenggorokanku. Pahit dan kental. Cukup sesaat menghapus memori gadis itu. Kurebahkan tubuh di bangku panjang. Sebelah tangan melintang mengganjal kepalaku. Wuss isi otakku pindah channel, melintas tubuh seorang perempuan sintal dan energik, adik teman kuliahku dulu. Seorang mahasiswi yang aktivitas kampusnya bejibun. Wajah yang mengusik relung hatiku dengan cintanya. Sebulan lalu.

“Aah gadis yang baik hati, kenapa aku melepaskannya.”

Dia mencintaiku. Aku mencintainya. Kami berpacaran. Backstreet. Dia hanya minta Ibuku menerimanya. Dia ingin berkunjung ke rumahku. Ngobrol dengan Ibuku. Bercengkerama dengan Ibuku, seperti layaknya anak bermanja pada Ibunya. Tapi Ibuku tak menyukainya. Alasannya dia berpenampilan tomboy, katanya kurang elok sebagai perempuan tulen.

“Aah bodohnya aku, kenapa aku lepaskan dia. Toh dia hanya mau memperjuangkan cinta kami, agar tidak backstreet lagi.

Aaah tapi… aku khan demi Ibuku juga. Aku teramat mengasihinya. Teriang kembali kata-kata ibuku di malam itu. Berulang-ulang. “Hasan, Ibu pesan sama kamu, kalau kamu cari calon istri, ingat 'bobot bibit bebet'. Istri yang berkualitas, dari keluarga terhormat, bagus ekonominya, dan bisa masak serta betah di rumah. Paham kodratnya sebagai perempuan.”

Aahhh Ibu, aku selalu tak berdaya padamu. Aku teramat mengagungkannya. Ibu yang selalu kujaga kebahagiaan perasaannya setiap waktu. Aahh… runyam, memilihmu atau Ibuku. Hingga kamu tak sanggup lagi dengan kondisi yang ada dan bertanya, “Pilih aku atau Ibumu?”

Aah… (aku mendesah lagi)

Aku geliatkan badan lalu duduk di pinggiran bangku. Duduk memandangi kopi yang masih teronggok di meja. Kuraih lagi gagang gelasnya. Tetes demi tetes membasahi kerongkonganku yang mulai kering lagi. Kutaruh gelas yang tinggal ampas kopinya itu. Kukucek-kucek wajahku yang makin kumal dengan kedua tanganku. Mendadak melintas wajah renta di benakku. Wajah yang teramat kukenal sejak bayi. Ibuku.

“Aah perempuan yang baik hati, bagaimana aku sanggup melepaskannya.”

Dia mencintaiku. Aku menghormatinya. Dia yang melahirkanku dan dia yang merawatku sepenuh hatinya. Kebahagiaanku adalah Surga di telapak kakinya. Kebahagiaanku adalah hakku. Kebahagiaan Ibu adalah kewajibanku. Jodohku adalah kebahagiaanku dan Ibuku. Antara kebahagianku dan kebahagiaan Ibuku. Kebahagiaan mengusikku “Pilih aku atau Ibuku?”

Aah…

Sayup-sayup suara adzan Isya’ terdengar dari surau di ujung desa. Aku pun beranjak, bergegas dan berniat kembali mengadu kepadaNya.

*****

Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community dengan judul : Inilah Perhelatan & Hasil Karya Peserta Event Fiksi Drama Ramadhan

Silahkan bergabung di FB Fiksiana Community

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Drama Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun