angin ujung sabang dingin menggigil
menyapu lahan-lahan persaudaraan yang lama tertatih
aku yang lahir dari rahim bumi rencong
aku yang menghirup hawa pekat langit singkil
tanah ini, ibu kami
yang ajarkan bertani kasih sayang
air perigi ini, susu kami
menyirami cinta yang selalu bersemi
sawah-sawah subur, ladang persaudaraan kami
diantara musim pancaroba yang menghidupi rohani
senyum sinar pagi tak letih menghangatkan
tangan-tangan hujan tak lelah menyejukkan
namun sayang
lembaran-lembaran kisah manis itu mesti tertinggalkan
sisakan segala kepedihan
tentang harmoni lonceng gereja dan adzan surau yang lamat berjauhan
kini, bukan tanah-tanah yang menolak kami pijak
saat ketakutan menjadi ngarai terjal mengancam
terbakar api-api kelam kata perbedaan
menahan airmata yang lama terkucilkan
dan membawa kisah legenda damai
yang kini gelap terhalang kabut kebencian
kami pergi
mengikuti angin singkil dini
berpeluk Tuhan yang teryakini
***
Jakarta – 15 Oktober 2015
@rahabganendra
Sumber Gambar Ilustrasi
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H