dulu
aku melihat pagi dengan pertanda wajah mentari di riak basuh mata kejora
jernih bagaikan cermin bidadari yang jatuh dari meja riasnya
bergoyang diantara lekuk tubuhmu yang menari bergelora
disana paras penguasa terang bermerah saga
jelas cantik berwibawa
rupawan hampir tiada cela
hingga saat cinta itu pudar
ditelan oleh perilaku tak lagi sadar
parasmu perlahan kian suram
pekat dan legam
aku yang tak lagi peduli
oleh hati yang kian mati suri
berkali-kali engkau menagih janji
tentang kesetiaan menjaga dari ujung pagi ketemu dini
menyanyikan lagu-lagu estetika di pinggiran peraduanmu
bercengkerama di arung luka-luka setiap waktu
tapi aku telah mati
cinta itu tlah tertinggal di dangkalnya hati
hingga engkau mengerang kepedihan
kala dewi hujan menghunjam deras di sepanjang tubuh kepekatan
keindahan setiap detikmu, lenyap bagai ditelan rahim kelahiran
aimatamu menggenang tersedu sedan
di sepanjang setapak jalan
dan pemukiman
kini
aku tak lagi bisa melihat paras matahari
yang enggan menampakkan diri
pada pekat wajahmu yang tak lagi menghidupi
oleh ulah tangan sampah penghianatanku di silam hari
***
Jakarta – 15 September 2015
@rahabganendra
Gambar Ilustrasi “Kali Angke dikeruk akibat pendangkalan”. Foto pribadi diambil Senin 14 September 2015.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H