Bicara tentang ODHA (Orang dengan HIV/Aids) mengingatkan saya pada ‘Papa,’ seorang ODHA yang kukenal sekitar 2005 silam di Batam. Seorang pengidap Aids yang giat memperjuangkan ‘kaumnya’ itu agarbisa diterima di masyarakat.
Papa adalah nama panggilan akrab pria yang dituakan waktu itu, di komunitas ODHA sebuah yayasan di Batam, tempat dirinya giat berkecimpung. Satu hal yang membuat saya salut padanya adalah dirinya ‘berani’ mengakui sebagai ODHA di khalayak umum. Sebuah keberanian yang menurut saya teramat jarang dimiliki para pengidap penyakit mematikan ini. Rata-rata mereka yang dinyatakan positif mengidap penyakit mematikan ini, akan minder dalam kehidupan sosial di masyarakatnya.
Berjuang agar dapat diterima masyarakat adalah misi utamanya. Merubah stigma negatif masyarakat dan menjadikan kaum ODHA sebagai kelompok yang tidak dipinggirkan dalam pergaulan masyarakat. Saya ingat, salah satu hal yang membuat dirinya prihatin adalah pemahaman yang salah soal lika-liku penyakit penurunan kekebalan tubuh ini. Mulai soal penyebaran, penularan, penanganan hingga soal bersikap pada ODHA.
Fakta bahwa publik menganggap ODHA sebagai makhluk mengerikan adalah fakta yang memilukan baginya. Menjalani hidup keseharian di tengah masyarakat dengan menyandang penyakit itu sudah berat bagi ODHA. Ditambah lagi sanksi sosial di lingkungan sekitarnya. “Siapa yang mau dijangkiti penyakit ini?” curhatnya waktu itu.
Tak mengherankan, hal itu memotivasinya hingga dirinya menjadi pegiat yang mengkampanyekan Aids. Bersama yayasan yang diikutinya, dia giat melakukan penyuluhan di berbagai tempat dan acara.
Selama berkawan dengan mereka, saya berkesempatan bersama-sama membuat opera drama tentang aids sebagai materi penyuluhan yang digagas mereka. Studio rekaman yang tersedia waktu itu, saya manfaatkan untuk memproduksi opera penyuluhan itu. Mereka cukup kreatif menyusun kisah drama yang sarat muatan tentang seluk beluk pengetahuan HIV/ Aids, sehingga mudah diterima publik. Drama Opera itu dipentaskan di berbagai kesempatan. Itu kami lakukan sekitar tiga tahun lamanya.
Satu hal lagi yang membuat salut, mereka berupaya mandiri dan menjalani hidup dengan senang dan bermanfaat, meski ajal bisa menjemput kapan saja. Satu simbol bahwa mereka tidak ingin dianggap ‘sakit’ dan menjadi orang ‘menakutkan’ di tengah lingkungan masyarakatnya. Sikap bijak akan sangat membantu meringankan beban mereka. Biarlah mereka eksis seperti orang sehat lainnya. Jika mereka sudah ‘siap’ menghadapi maut, bagaimana kita sebaiknya bersikap terhadap mereka?
Terima Kehadiran ODHA dengan Tulus
ODHA sangat terbantu apabila masyarakat dapat menerima kehadiran mereka apa adanya. Tanpa cemoohan maupun cibiran yang menambah beban psikisnya. Istilah masyarakat Jawa, ‘Nguwongke,’ atau ‘memanusiakan’ mereka. Oleh karenanya kita harus mampu menerima mereka apa adanya di tengah-tengah lingkungan pergaulan. Untuk itu diperlukan pemahaman yang benar soal seluk beluk HIV/ Aids. Baik itu asal muasal vektor penyakit, tindakan preventif yang tepat, dan pengetahuan bagaimana metode penularannya. Informasi itu bisa diperoleh seperti dari Komisi Penanggulangan Aids. Bermodal pemahaman yang benar, akan membuat kita merasa nyaman dan terhindar dari rasa was-was bergaul dengan mereka.
Beri Ruang Bergaul yang Sehat
Seperti selayaknya orang sehat lainnya, beri ruang dalam pergaulan dalam masyarakat. Bantu ODHA menemukan eksistensi diri di lingkungannya. Sebagai contoh, beri peranan dalam tata sosial masyarakat, mulai dari hal terkecil. Misalnya memposisikan sebagai ketua karangtaruna di lingkungannya, ajak dalam kegiatan kemasyarakatan atau semacamnya. Peran yang membawa manfaat, akan mendorong kepercayaan diri bagi ODHA. Juga sebagai simbol penerimaan masyarakat atas diri ODHA. Mereka akan merasa nyaman, tidak dikucilkan.
Ajak ODHA Lakukan Penyuluhan Soal Aids
ODHA adalah bagian dari masyarakat kecil. Dalam masyarakat kecil ini, kita dapat melakukan tindakan konkret, misalnya mengajak para ODHA memberikan sharing (penyuluhan) ringan kepada masyarakat luas soal bersikap yang tepat terhadap ODHA. Pengalaman pahit para ODHA bisa menjadi sarana menggugah hidup yang sehat, serta meluruskan paradigma yang salah dan berkembang tentang HIV Aids dan ODHA. Tindakan itu juga bermanfaat bagi para ODHA, yakni masyarakat tidak mengucilkan mereka. Seperti orang bilang, ‘Beritahukan hal bermanfaat kepada orang disamping Anda.’
Rangkul ODHA sebagai Mitra
Bukan hanya ruang untuk berinteraksi sosial, menempatkan ODHA sebagai rekan maupun mitra dalam pekerjaan, sangat membantu untuk meningkatkan kepercayaan diri mereka. Tak sedikit lingkungan pekerjaan yang menolak kehadirannya. Jika mereka mempunyai kemampuan di bidang tertentu, sangatlah mulia jika kita bisa mengajak bekerjasama. Bukan hanya membantu secara moril namun bisa membantu secara riil, dengan memberikan peluang penghasilan. Mandiri akan memberikan rasa percaya diri dalam diri ODHA.
Memberikan sikap yang baik, adalah cermin kepedulian terhadap ODHA, sedikit banyak akan dapat memberikan mereka dukungan dalam menghadapi penyakitnya. Dengan demikian, mereka bisa bertahan menjalani hidup dan tetap mampu mandiri dan berkarya. Perlu diingat, bahwa ODHA juga berhak mendapat pengakuan dalam masyarakat dan hidup nyaman layaknya orang sehat lainnya. Mereka adalah warganegara yang mempunyai hak sama. Jadi jangan pinggirkan mereka, jangan kucilkan mereka. Rangkul mereka dalam satu keluarga besar kehidupan bermasyarakat sosial di lingkungan kita. Selamat Hari Aids Sedunia.
Untuk Para Sahabat ODHA di Hari Aids Sedunia 1 Desember 2013. ‘Wujudkan impian kita, dunia terbebas dari HIV Aids.’
Salam Peduli ... Persembahan puisi untuk Sahabat ODHA, 'Masih Ada Impian'
GanendraX 01122013
Sumber gambar: http://image.metrotvnews.com/bank_images/actual/189397.jpg
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H