Mohon tunggu...
Rachmat Pudiyanto
Rachmat Pudiyanto Mohon Tunggu... Penulis - Culture Enthusiasts || Traveler || Madyanger || Fiksianer

BEST IN FICTION Kompasiana 2014 AWARD || Culture Enthusiasts || Instagram @rachmatpy #TravelerMadyanger || email: rachmatpy@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Wahyu Malaikat Air

26 Januari 2014   20:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:27 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_308409" align="aligncenter" width="620" caption="Banjir akibat luapan Kali Angke Pesing, setahun lalu, medio Januari 2013. (Foto: Ganendra)"][/caption]

BANJIR yang melanda Ibukota pertengahan Januari 2014 belakangan ini mulai surut. Tercatat hingga Minggu (26/1/2014) beberapa titik bekas genangan air mulai menurun ketinggiannya. Tempat yang lain sudah ada yang normal. Jalur jalan bisa diakses kembali. Warga sudah kembali aktif seperti biasa. Bergelut dengan kehidupan sehari-harinya. Namun tak serta merta musibah itu hilang begitu saja. Bekas dan jejaknya akan mengingatkan bergores-gores luka, derita yang akan selalu diingat oleh mereka yang didera dan menjadi korban.

[caption id="attachment_308410" align="aligncenter" width="620" caption="Banjir akibat luapan Kali Anke Pesing medio Januari 2014. (Foto: Ganendra)"]

13907424211874683758
13907424211874683758
[/caption]

Bayangan kala meninggalkan rumah untuk mengungsi. Menatap pedih rumah yang terendam hingga hanya terlihat atap. Merasakan telapak kaki terendam dan menapak lantai basah, dingin, keruh serta potensial mengandung bibit penyakit. Genangan mulai dari mata kaki, selutut, sepinggang, sedada hingga tenggelamnya kepala. Istilah ukuran unik ketinggian banjir yang muncul kala genangan melanda. Halangan aktivitas kerja sehari-hari, kecemasan penyakit paska banjir yang menghantui dan beragam derita luka tak kasat mata yang harus ‘diobati' sejak dini.

[caption id="attachment_308411" align="aligncenter" width="620" caption="Seorang Ibu di tengah-tengah jalan yang tergenang air. Foto diabadikan setahun lalu, medio 2013 di Jl. Tubagus Angke, Jakaarta Barat. (Foto: Ganendra)"]

13907425331559045222
13907425331559045222
[/caption] [caption id="attachment_308412" align="aligncenter" width="620" caption="Dua orang bocah menikmati banjir di Jl. Tubagus Angke Jakarta Barat. Foto diabadikan Januari 2014. (Foto: Ganendra)"]
1390742650654591077
1390742650654591077
[/caption]

Tak bisa dipungkiri fakta bahwa air selalu menjadi langganan bah banjir setiap tahunnya di Ibukota, Jakarta. Fakta memprihatinkan dari sebuah kota metropolitan yang modern pengembangan kotanya. Ironi. Namun segenap warga nampaknya mengamini bahwa ‘malaikat air' yang menyambangi rumah-rumah, jalan dan pemukiman itu adalah sebuah kesalahan, keteledoran manusia yang harus dibayarkan oleh rintihan bocah dan ratapan ibu-ibu korban.

Wahyu yang diusung Malaikat Air mungkin sulit tertangkap, kala kepandiran manusia menyelimuti watak kesadarannya. Lupa akan makna dari datangnya air yang sedemikian rupa dipandang jahat. Mengaburkan kesadaran dengan menilai dan memaknai musibah secara tak bijak. Dimana kesadaran manusia sesungguhnya harmonis dengan sang alam, sebagai sebuah mekanisme prinsip semesta berkesinambungan sebab akibat. Berwujud pada perilaku menyimpang dari nurani yang dimiliki hingga merusak keharmonisan yang mestinya dibangun dengan alam seisinya. Membangun tali kasih dengan air dan pemilikNya.

[caption id="attachment_308413" align="aligncenter" width="620" caption="Ulah dari perilaku manusia yang tidak mencintai jalan air dengan menumpuk sampah yang menyumbat laju sang air. (Foto: Ganendra)"]

13907428162084944717
13907428162084944717
[/caption] [caption id="attachment_308415" align="aligncenter" width="620" caption="Sungai yang merana dengan polusi sampah akibat perilaku manusia yang tidak menyayangi Sang Malaikat Air. (Foto: Ganendra)"]
139074309847227755
139074309847227755
[/caption]

Perilaku, prinsip, tekad semestinya dibenahi, agar menyambut Sang Malaikat Air dengan suka cita bukan derai tangis lagi. Membangun harapan dengan upaya baik sepenuh hati. Lebih baik dan lebih baik di tahun-tahun mendatang. Hingga tahun kuda kalender Chinese ini dapat membawa berkah bahagia. Berharap kereta kuda penuh dengan pundi-pundi rejeki kebaikan dan kegembiraan, untuk segenap warga kini dan generasi nanti.

Pantaslah kiranya pesan-pesan ‘Wahyu Malaikat Air' yang datang nanti adalah kegembiraan sebagai unsur yang menghidupi dan patut disyukuri. Air adalah mengayomi yang tak layak lagi dicaci maki, namun haruslah disayangi untuk menjadi jalan damai bagi semua makhluk di bumi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun