Mohon tunggu...
Rachmat Pudiyanto
Rachmat Pudiyanto Mohon Tunggu... Penulis - Culture Enthusiasts || Traveler || Madyanger || Fiksianer

BEST IN FICTION Kompasiana 201 AWARD || Culture Enthusiasts || Instagram @rachmatpy #TravelerMadyanger || email: rachmatpy@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hingga Ajal Menjemput

5 Maret 2014   09:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:13 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1393985408343789727

Taaarrr!”

Suara letusan memecah kesunyian malam yang beranjak dinihari. Nyaring. Satu kali saja, namun terdengar keras menelusup diantara gelap ruangan rumah mungil sederhana itu. Ruang kamar. Satu sosok tubuh, terkapar. Kedua tangannya memegang telinga. Menutupnya. Raut wajahnya pucat pasi. Bukan takut, tapi nampak ekspresi terkejut. Dua sosok berbadan tegap berdiri di depannya. Menatap tegas dalam sorot mata menghunjam  bak burung gagak mengincar mangsanya. Asap mengepul tipis di pucuk pistol yang digenggamnya. Pistol yang baru saja menyalak.

“Ayoo, ikutt!” Suara gertakan pada laki-laki muda itu. Lengan kokoh dan kekar mencengkeram lengan sawo matangnya.

Perawakannya yang kalah jauh kekarnya dari kedua sosok itu, membuat tubuhnya mudah dibangkitkan. Setengah terseret, tubuh lelaki muda itu dibawa keluar ruangan. Sosok bayangan lain telah menunggu di luar. Tak lama sosok-sosok itu lenyap.  Ruangan itu menjadi sepi. Tinggal kain sprei yang kusut di kasur tanpa dipan itu. Tak ada darah.

***

“Kalian menghancurkan hidupnya. Masih kalian tanya soal hutang.”

Bibir perempuan setengah tua itu gemetar. Sorot matanya nyalang ke arah pemuda setengah gondrong itu.  Pemuda yang telah membuat anak yang dicintainya minggat dari rumah.

“Cepat kalian pergi dari rumahku! Pergiiii !!”

Kedua pemuda itu bergegas pergi. Menyalakan motor, lalu melesat meninggalkan suara yang berisik bak kaleng kerupuk ditendang. Sementara Mak Darsih terduduk di bangku. Wajah yang mulai menua itu nampak menyimpan kepedihan mendalam. Gurat-guratnya melukiskan ekspresi luka. Luka teramat dalam. Kesedihan yang tak bisa dipendam lagi setelah bertahun-tahun hidup sendiri. Anak semata wayang yang dimilikinya, sudah lama tak menemaninya. Pergi dari rumah. Entah dimana rimbanya.

***

Kedua tangannya menggenggam terali besi penjara itu. Kuku-kukunya menghitam. Kotor. Kulitnya bersisik. Terlihat kasar. Matanya redup. Jambang dan kumis awut-awutan. Pertanda kurang dirawat. Sudah setahun lebih dia mendekam di bui pengap itu. Napi. Narapidana. Kekekaran tubuh Santosa lambat laun menyusut. Tak seperti dulu lagi. Wajahnya tak klimis lagi. Wajah yang dulu banyak digila-gilai gadis-gadis di sekolahnya dan di kampungnya.

Santosa sudah berubah. Sekarang sudah jadi tahanan dan tinggal dengan beberapa napi lainnya. Narkoba jenis Mariyuana yang tersimpan di rumah kontrakannya mengantarkannya ke hotel prodeo itu. Mariyuana yang menghidupi dirinya dan Ibundanya. Santosa berprofesi 'kurir narkoba' tanpa diketahui Ibundanya. Profesi mendesak akibat himpitan ekonomi dan gaya hidup. Konsekuensi bui harus diterimanya akibat menutup rapat-rapat jaringan yang hanya sedikit diketahuinya. Hingga letusan pistol disamping telinganya, merobohkan dirinya, waktu itu. Letusan yang membuat telinganya berdenging-denging hingga sekarang.

“Aku bangga Lee, kamu bisa nerusin sekolah dengan duit sendiri. Semoga kamu jadi orang Lee,” teriang kata-kata Ibundanya 8 tahun lalu.

Terakhir kali dirinya berjumpa dengannya. Padahal dirinya tak pernah melanjutkan sekolah. Itu ‘kebohongan’ untuk membahagiakan Ibunya. Profesinya mengharuskan dirinya tidak ‘menjamah’ kampung halamannya. Kang Wahyu yang menjadi ‘kurir’ titipan uang buat hidup Ibunya. Uang yang sengaja diklaim Kang Wahyu sebagai bantuan kepada Ibunda Santosa. Bermaksud agar dia tak bertanya perihal Santosa.

Dhii, sampai kapan kamu begini. Aku kii mesakke Ibumu lhoorr,” tanya Kang Wahyu suatu ketika.

“Yaaa, sampai kapan-kapan Kang,” jawab Santosa berat.

“Mbok sudah tho Dhi. Kamu khan tau, pekerjaan kurir ini khan bahaya. Suatu saat kamu bisa didor lhoooo. Kasihan Ibumu,” kata Kang Wahyu mengingatkan.

“Laaa piye Kang. Aku ga bisa kerja lain. Sekolah saja SMU gak lulus,” jawab Santosa lirih.

“Oalaaah Dhii dii… kalau niat pasti bisa cari kerja lain,” ujar Kang Wahyu.

“Aaah.” Santosa menepis bayangan itu. Perasaannya bercampur aduk. Ingat Ibunya. Ingat bapak yang meninggalkannya saat masih di Sekolah Dasar. Bapak yang menyia-nyiakan dirinya dan Ibunya, kepincut wanita ‘Ledek’ kampung seberang. Perih hatinya. Bak tersayat-sayat sembilu. Ingin dirinya berjumpa dan bersimpuh di kaki Ibunya. Memohon maaf atas kesalahan dan kebohongannya selama ini.

Wajah keriput itu sekilas membayang. Tangan-tangan halus itu seakan masih terasa membelai kepalanya. Tangan yang juga pernah memukul pantatnya saat dirinya ketahuan main ketapel, hingga burung merpati milik tetangganya mati. Kena batu ketapelnya.

“Bulan depan, aku datang Ibu,” gumamnya lirih.

***

Sebulan kemudian.

Pagi. Hari nampak cerah. Begitupun hati Santosa. Hari ini udara bebas berhak direguknya dalam-dalam. Udara murni yang tidak sepengap di kamar bui yang ditinggali bertahun belakangan.

“Senang sekali Nak Santosa hari ini bebas. Berbahagia juga bahwasannya Nak Santosa juga berhasil mengikuti program rehabilitasi pengguna narkoba. Kami berharap selanjutnya hidup dengan normal. Ingat jauhi narkoba. Semangat anti narkoba,” ujar Ketua Lapas.

“Ingat yaaa, kami tidak ingin melihat lagi Nak Santosa kembali kesini,” sela petugas lainnya dari Badan Narkotika Nasional.

“Baik. Terima kasih banyak Pak. Saya mohon pamit,” jawab Santosa singkat.

Langkah ringan Santosa keluar dari Lembaga Pemasyarakatan itu. Ia menghampiri Kang Wahyu yang menunggu di parkiran. Sebuah mobil sewaan akan mengantarkannya ke kampung. Tujuan utamanya. Sesaat mereka berangkulan. Lalu masuk ke mobil dan memberi isyarat pada sopir untuk berangkat. Tak banyak kata dari mereka berdua. Santosa nampak bahagia, terbayang wajah Ibunya. Ia akan memberi kejutan hari ini. Dia akan mencium kedua kaki Ibunya. Dia bersumpah tak akan pergi meninggalkan Ibunya lagi. Dia akan merawat Ibunya sebagai penebus dosa-dosanya. Setangkai bunga mawar telah dipegangnya, bunga yang dipesannya dari Kang Wahyu untuk Ibunya.

Bayangan itu semakin melenakan Santosa. Senyumannya tersungging. Matanya menutup semakin menikmati perjalanan. Raut wajahnya cerah diantara jambang dan kumis yang sudah dicukur habis. Santosa semakin terbuai dengan impiannya. Impian indah untuk dirinya dan Ibunya. Impian yang tak akan terwujud seiring dengan suara keras yang berdebum.

“Braaaakkk…. Bummm! Sebuah mobil truk pengangkut galon air terguling tiba-tiba dan menimpa mobil yang ditumpanginya. Bagian atas mobil ringsek berat. Darah berceceran di dalam mobil dan Santosa masih ada di dalamnya. Tenang terbuai mimpi-mimpi indahnya. (*)

Jakarta – 4 Maret 2014

Catatan =

Minggat = pergi tanpa ijin
Lee (Thole) = panggilan terhadap anak laki-laki
Dhii = Adik
Kang = Kakak
Mesakke = kasihan, iba
Ledek = penyanyi
Piye = bagaimana

Sumber Gambar Ilustrasi

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun