Sejalan dengan pandangan Tjipta, bahwa rencana pembangunan sistem tranportasi massal di Jakarta sudah lama menjadi wacana. Hal itu mengindikasikan bahwa tranportasi massal ‘diamini' untuk diwujudkan menjadi pilihan warga Jakarta dalam mobilitasnya. Pada 2004 terwujud kerja sama antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan PT Jakarta Monorail. Kerjasama itu berupa kesepakatan membangun monorail dengan jalur yang akan terintegrasi dengan jalur kereta api bawah tanah. Namun ternyata kerjasama tidak berjalan mulus yang berdampak megaproyek monorel itu mangkrak.
Pilihan moda transportasi itu tentu bukan tanpa alasan. Selain kapasitas monorel mencapai 230 orang per gerbong, adalah soal efektivitas waktu. Monorel disebut-sebut mempunyai kecepatan yang jauh lebih cepat dibanding moda lainnya seperti busway maupun bus umum. Pasalnya monorel mempunyai jalur terpisah yang tak diganggu dan mengganggu transportasi lainnya.
Lalu mengapa proyek yang telah disepakati itu tersendat-sendat dan mangkrak sedemikian lama? Sejak tak berlanjut di jaman Gubernur Fauzi Bowo, ketika pasangan Gubernur baru, Joko Widodo dan Ahok menjabat, mereka bertekad meneruskan kembali. Tindakan nyata dilakukan dengan mengecor tiang-tiang yang mangkrak itu. namun baru berjalan tahun kedua lagi-lagi tersendat dan mangkrak kembali.
Dari pemaparan para narasumber saya menyimpulkan ada tiga hal yang patut diperhatikan dan menjadi penyebab mangkraknya proyek transportasi ini, yakni tiadanya kepercayaan (trust), adanya politisasi, dan komunikasi bermasalah.
"Memang kita tidak bisa menyediakan total dana, namun kami sudah menawarkan proposal dengan membentuk konsorsium. Namun sampai saat ini kami tak memperoleh respon," jelas John. Konsorsium yang dimaksud John adalah bekerjasama dengan perusahan dari Tiongkok dan Singapura. Sikap menunggu adalah pilihan yang terpaksa PT JM pilih.
"Jadi atau tidak jadi proyek monorel ini, menjadi bukan masalah kita lagi. Kita hanya sebagai pelaksana," tambahnya dengan nada tegang.
Kondisi itulah yang akhirnya berlarut-larut, karena tidak adanya titik temu dan simpang siurnya permasalahan. Sementara publik hanya bisa bertanya-tanya dan mengetahui informasinya dari media. Informasi dari media inipun dituding pihak PT JM tidak tepat dan tidak berimbang. Sementara itu di media Ahok menilai bahwa terganjalnya proyek monorel dikarenakan hingga kini PT JM masih belum menyelesaikan beberapa hal yang dipersyaratkan oleh pemerintah DKI untuk pembangunan proyek transportasi itu, yakni pengkajian mengenai teknis konstruksi jalur monorel, serta modal.
Yang Dibutuhkan, Yang Tercampakkan
Mengingat urgensi dan solusi yang telah diambil dengan pembangunan megaproyek monorel itu, seyogyanya bisa segera lancer terwujud. Mengabaikan soal politis demi kepentingan publik yang lebih penting. Membangun komunikasi, kepercayaan rekanan harus dilakukan segera secara bertahap. Jika tidak, sampai kapan tiang-tiang monorel itu tetap menghiasi ibukota? Lalu bagaimana dengan mobilitas warga yang semakin tinggi dari tahun ke tahun? Kita berpacu dengan waktu. Semoga PT JM dan Pemprov DKI Jakarta yang terkait langsung soal transportasi massal ini bisa segera menemukan titik temu dan menguntungkan bagi publik. Sayang sekali bila monorel yang sudah dijalankan, terus dicampakkan. Ada dana rakyat di dalamnya, yang harus dipertanggungjawabkan. (*)
[caption id="attachment_327779" align="aligncenter" width="620" caption="Acara Kompasiana Nangkring tentang Monorel. (foto pribadi)"]