Mohon tunggu...
Ragil Triwinarsih
Ragil Triwinarsih Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Bangka Belitung

Tertarik untuk menulis

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Aktivitas Ganda Perairan Pantai Pasir Kuning: Jerat Keadilan Nelayan Pesisir

5 Januari 2025   13:59 Diperbarui: 5 Januari 2025   15:04 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pantai Pasir Kuning (Sumber: Dokumen Pribadi) 

Pantai Pasir Kuning menjadi salah satu ikon wisata jika berkunjung ke wilayah Kecamatan Tempilang, Kabupaten Bangka Barat, tepatnya di Desa Air Lintang. Pantai Pasir Kuning sering dijadikan oleh masyarakat setempat untuk melaksanakan acara adat Perang Ketupat yang sudah ada sejak dahulu. Namun, ekspetasi keindahan pantai menjadi redup ketika pesisir pantai sudah ditelusuri. Pemandangan miris akan sangat jelas terlihat di bibir pantai pasir kuning, terdapat aktivitas pertambangan timah ilegal yang masih aktif beroperasi hingga kini di sekitaran pesisir pantai meskipun pernah terjadi penolakan dari nelayan pesisir. Ponton-ponton timah ilegal telah berjejer dengan rapi untuk mengais sumber timah di laut yang bahkan dekat sekali dengan wilayah tangkap nelayan. Terlihat dengan jelas di bibir pantai bahwa adanya aktivitas ganda yang saling beriringan, antara aktivitas nelayan dan penambang. Aktivitas ganda yang beroperasi di pantai ini tentunya mengancam kesejahteraan nelayan di kawasan pesisir. Pertanyaannya, bagaimana dengan kebijakan pemerintah? Apa dampak yang paling terasa dalam aktivitas ini?

Dalam Pasal 23 UU No 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir & Pulau-pulau Kecil, dijelaskan bahwa "Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan perairan di sekitarnya diprioritaskan untuk salah satu atau lebih kepentingan berikut: a. konservasi; b. pendidikan dan pelatihan; c. penelitian dan pengembangan; d. budidaya laut;". Dari pasal tersebut, sudah jelas bahwa kawasan pesisir pantai tidak dipergunakan dan tidak diizinkan untuk kegiatan pertambangan timah ilegal. Namun, realita yang ada memberikan jawaban yang berbeda, yakni maraknya kegiatan pertambangan timah ilegal yang berada dekat dengan wilayah perairan pesisir pantai pasir kuning dan wilayah para nelayan mencari ikan serta juga dekat dengan area kapal nelayan desa Air Lintang, Kecamatan Tempilang yang sedang berlabuh di kawasan pesisir pantai.

Apa yang terjadi di pantai pasir kuning merupakan salah satu contoh bagaimana representasi jawaban dari banyaknya permasalahan pertambangan di Indonesia sebagai hasil dari kebijakan pemerintah yang selama bertahun-tahun sentralistik atau kebijakan yang cenderung terpusat, seperti regulasi yang tertuang dalam UU No 27 tahun 2007 Pasal 23 ataupun regulasi lainnya yang mengatur pengelolaan kawasan pesisir belum menghadirkan solusi yang seimbang. Dalam kasus ini, belum ada kebijakan daerah yang dapat melindungi perairan desa Tempilang dari aktivitas pertambangan timah ilegal.


Jerat Kapitalisme

Nelayan pesisir mengaku keberatan atas aktivitas tambang ilegal di wilayah tangkap ikan nelayan tersebut. Jerat Kapitalisme para elit pengusaha kolektor penampung timah akan terus mencekik kehidupan ekosistem dan ekonomi nelayan pesisir dengan melakukan eksploitasi timah tanpa henti meskipun telah dilakukan penertiban oleh aparat keamanan. Para kolektor timah di kecamatan Tempilang tidak akan pernah jera dengan penertiban yang ada. Jerit nelayan akhirnya akan beradu dengan jerat kapitalisme. Mereka akan selalu mencari keuntungan dari para penambang ilegal. Lemahnya regulasi dan penertiban aparat keamanan memberikan ruang yang leluasa kepada elit untuk merampas potensi timah yang terkandung di dalam laut. Para kapitalis hanya akan terus mengambil keuntungan tanpa mempertimbangkan kerusakan alam dan nilai-nilai keadilan yang harusnya ada untuk para nelayan pesisir pantai pasir kuning. Perahu-perahu nelayan terpaksa harus berdampingan berjejer dengan kapal para penambang ilegal.


Dampak Pertambangan Ilegal dan Keadilan Nelayan Pesisir

Kegiatan pertambangan di sekitar perairan pantai pasir kuning telah menimbulkan dampak sosial dari masyarakat nelayan di desa Tempilang. Akibat pertambangan ilegal di wilayah pesisir pantai, sampah di laut maupun darat terbawa ke sekitaran pesisir pantai sehingga mencemari lingkungan pesisir Pantai. Air laut juga ikut menjadi rusak akibat limbah yang dihasilkan dari ponton timah, pastinya ekosistem laut menjadi terancam, perubahan tekstur tanah yang perlahan berubah menjadi seperti lumpur, sedimentasi, bahkan terjadi krisis hutan mangrove yang tumbuh dekat pesisir pantai. Hutan mangrove di sekitaran bibir Pantai ikut mengalami kerusakan karena terjamah aktivitas pertambangan. Tidak terbatas pada dampak sosial, tapi juga penurunan sumber pendapatan ekonomi nelayan dalam memperoleh ikan semenjak tambang ilegal masuk ke daerah nelayan.

Dalam aktivitas ini, nelayan pesisir desa Air Lintang, Kecamatan Tempilang tidak mendapatkan keadilan yang selayaknya mereka dapatkan dari pemerintah daerah maupun pusat untuk mengelola perairan pasir kuning selain untuk pariwisata yaitu sebagai wilayah tangkap ikan nelayan bukan sebagai wilayah tambang. Lemahnya regulasi yang ada, menyebabkan penataan ruang laut khususnya di kawasan pesisir tidak mempertimbangkan hak-hak para nelayan. Nelayan pesisir hanya akan terus-menerus terjerat dan dirugikan oleh aktivitas eksploitasi tambang ilegal yang ekstraktif. Nelayan pesisir pantai pasir kuning akan terus menuntut keadilan bagi mereka, agar dapat dengan bebas dan leluasa melakukan aktivitas sehari-hari di laut tanpa gangguan dari para penambang ilegal. Keadilan untuk nelayan pesisir adalah kewajiban dan tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh pemerintah sebagai bagian dari warga negara serta kawasan pesisir harus dilindungi dari kegiatan eksploitasi melalui kebijakan yang tepat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun